Oleh: Ismail Usman
(Ketua HMI MPO Cabang Wajo Maju)
Perhelatan pesta demokrasi di Indonesia saat ini menjadi perbincangan hangat hampir di seluruh kalangan masyarakat. Obrolan politik hampir di setiap tempat, gambar para calon bertebaran mengisi hampir setiap jalan, sudut kota, dan bahkan di pepohonan sebagai bentuk kampanye pemilu.
Ini menjadi salah satu bukti bahwa pesta demokrasi semakin dekat. Hari dimana setiap warga negara menentukan dan memilih pilihannya secara merdeka. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebagai peserta pemilu, masyarakat tentunya menginginkan putusan pemilu yang transparan dari hasil pemilihan yang demokratis.
Untuk mewujudkan pemilu yang demokratis maka diperlukan adanya penyelenggara pemilu yang profesional, serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan akuntabilitas. KPU, sebagai penyelenggara pemilu dan sebagai simbol berjalannya demokrasi yang berkualitas seharusnya menjadi ujung tombak kepercayaan masyarakat bahwa pesta demokrasi akan berjalan dengan baik dan transparan.
Namun, kepercayaan masyarakat terhadap KPU sendiri telah terdegradasi oleh proses seleksi pemilihan dan penentuan komisioner kabupaten kota yang tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Seperti halnya yang terjadi di kabupaten Wajo, tiga dari lima nama komisioner KPU terpilih mendapatkan penolakan keras dari masyarakat. Tiga nama tersebut secara jelas telah mendaftar dan ditolak di kabupaten Bone dan Soppeng.
Komisi Pemilihan Umum (Timsel KPU Sulsel) diduga menggunakan standar ganda dalam penerimaan calon komisioner KPU Kabupaten kota, terbukti dengan lolosnya tiga nama buangan tersebut sebagai komisioner KPU di Wajo. Terpilihnya tiga nama yang telah ditolak di kabupaten Bone dan Soppeng menjadi tanda tanya besar masyarakat terhadap integritas KPU dalam mengawal proses penjaringan ini. Jika proses seleksi pimpinan Komisioner saja dipertanyakan, tentunya akan menimbulkan kekhawatiran besar akan integritas KPU dalam mengawal pemilu kedepannya.
Tiga nama komisioner tersebut terdata sebagai Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) setelah pindah domisili. Bagaimana mungkin Komisioner dengan status pemilih tambahan akan bertanggung jawab atas terselenggaranya pesta demokrasi di kabupaten Wajo yang secara sosiologis dan geografis berbeda dengan kabupaten Bone dan Soppeng. Bahkan, satu dari tiga nama tersebut sebelumnya terdata sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) di TPS 1 Kelurahan Sondosia, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Tentunya hal ini menjadi kekhawatiran yang harus segera dievaluasi demi terciptanya KPU Wajo yang berintegritas dan tercapainya pemilu yang demokratis dan berkualitas.
Read more:
Post a Comment for "Say No to Komisioner KPU Import "