METODE TAFSIR TEMATIK ( MAUDHU’I )

A.     Latar Belakang

Al-Qur’an diturunkan Allah kepada ummat manusia dijadikan sebagai hudan, bayyinah, dan furqan. Al-Qur’an selalu dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan dan al-Qur’an merupakan kitab suci ummat Islam yang selalu relevan sepanjang masa. Relevansi kitab suci ini terlihat pada petunjuk-petunjuk yang diberikannya kepada umat manusia dalam aspek kehidupan. Inilah sebabnya untuk memahami alQur’an di kalangan ummat Islam selalu muncul di permukaan, selaras dengan kebutuhan dan tantangan yang mereka hadapi. Allah berfirman: Sesungguhnya al-Qur’an memberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.

Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Katakan saja, corak penafsiran al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari.

M.Quraish Shihab, mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain :

a.       Corak sastra bahasa

b.      Corak filsafat dan teologi

c.       Corak penafsiran ilmiah

d.      Corak fiqih atau hokum

e.       Corak tasawuf

Bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], Corak-corak tersebut mulai berkembang dan perhatian banyak tertuju kepada corak satra budaya kemasyarakatan. Yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.

Sebagai bandingan, Ahmad As, Shouwy, dkk., menyatakan bahwa secara umum pendekatan yang sering dipakai oleh para mufassir adalah:

a.       Bahasa

b.      Konteks antara kata dan ayat

c.       Sifat penemuan ilmiah

Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, inters, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan ke dalaman [capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian Metode Tafsir ?

2.       Bagaimana  Metode Tafsir Tematik ( Maudhu’i ) ?

3.      Apa Kelebihan Dan Kelemahann Tafsir Tematik ( Maudhu’i ) ?

C.    Tujuan Makalah

1.      Mengetahui Pengertian Metode Tafsir.

2.      Mengetahui Metode Tafsir Tematik ( Maudhu’i ).

3.      Mengetahui Kelebihan Dan Kelemahann Tafsir Tematik ( Maudhu’i ) .

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Metode Tafsir

Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos”, yang berarti cara atau jalan[1]. Dalam bahasa Inggris, kata itu ditulis “method”, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj.

Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan berpkir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan dan sebagaina, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang ditentukan[2].

Metode digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan suatu pembahasan suatu masalah, berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau pekerjaan fisikpun tidak terlepas dari suatu metode. Dengan demikian metode merupakan salah satu sarana untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. “Dalam kaitan ini, studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw[3].

Metode tafsir Qur’an berisi seperangkat kaidah atau aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Qur’an. Maka, apabila seseorang menafsirkan ayat Qur’an tanpa menggunakan metode, tentu tidak mustahil ia akan keliru dalam penafsirannya. Tafsir serupa ini disebut tafsir bi al-ra’y al-mahdh (tafsir berdasarkan pikiran).

Ada dua istilah yang sering digunakan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir. Kita dapat membedakan antara dua istilah tersebut, yakni: “metode tafsir, yaitu cara-cara yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut. Katakan saja, pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin (perbadingan), misalnya disebut analisis metodologis, sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat alQur’an, disebut pembahasan metodik[4].

Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafisran”. Maka metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-qur’an dan seni atau teknik ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode, sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode metode penafsiran al-Qur’an.

B.     Metode Tafsir Tematik ( Maudhu’i )

Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya.

Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional[5].

Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan alQur’an terhadap ekonomi, dan sebagainya.

M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode meudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu[6].

M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama menyajikan kotak berisi pesan-pesan alQur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja[7].

Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y almahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir[8].

C.    Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhu’i

1.      Kelebihan metode ini antara lain:

a.       Menjawab tantangan zaman

Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.

b.      Praktis dan sistematis

Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.

c.       Dinamis

Metode tematik membuat tafsir alQur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial.

d.      Membuat pemahaman menjadi utuh

Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas.

2.      Kekurangan metode ini antara lain:

a.       Memenggal ayat al-Qur’an

Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.

b.      Membatasi pemahaman ayat

Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut[9].

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya.  

Metode tafsir ini tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an.

B.     Saran

. Demikian makalah ini. Penulis menyadari di dalam penyusunan makalah

ini masih banyak kekurangan baik pada segi penulisan maupunminimnya buku

referensi. Untuk itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan

makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Aamin.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Baidan Nashruddin. 1988. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat Fuad Hassan dan. 1977. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramadeia.

Shihab M. Quraish. 1992. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Shihab M. Quraish. 1997. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Mau atas Perbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

Tafsir bi al-ra’y al-mahdh [tafsir berdasarkan pemikiran] yang dilarang oleh Nabi, bahkan Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa penafsiran serupa itu haram [Ibnu Taymiyah. 1971/1391. Muqaddimat fi Ushul al-Tafsir. Kuwait: Dar al-Qur’an al-Karim, cet.ke-I. hlm. 105, dalam Nushruddin Baidan.

Tim Penyusun. 1988. Kamus Bahasa Indonesia, cet. Ke-I, Jakarta: Balai Pustaka.

 

 



[1] Fuad Hassan dan Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramadeia. hlm. 16.

[2] Tim Penyusun. 1988. Kamus Bahasa Indonesia, cet. Ke-I, Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 580-581.

[3] Nashruddin Baidan. 1988. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 1-2.

[4] Tafsir bi al-ra’y al-mahdh [tafsir berdasarkan pemikiran] yang dilarang oleh Nabi, bahkan Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa penafsiran serupa itu haram [Ibnu Taymiyah. 1971/1391. Muqaddimat fi Ushul al-Tafsir. Kuwait: Dar al-Qur’an al-Karim, cet.ke-I. hlm. 105, dalam Nushruddin Baidan. Op. Cit. hlm. 2.

[5] Nashruddin Baidan. 1988. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 151.

[6] M. Quraish Shihab. 1992. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan. hlm. 74. 

[7] M. Quraish Shihab. 1997. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Mau atas Perbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. hlm. xiii.

[8] 42 Nashruddin Baidan. Op. Cit. hlm. 152.

[9]  Nashruddin Baidan. Ibid. hlm. 165-168.

 

Post a Comment for "METODE TAFSIR TEMATIK ( MAUDHU’I )"