ISLAM DAN BUDAYA DI INDONESIA

 


A.  Latar Belakang

Berbicara Islam dan budaya lokal, tentu merupakan pembahasan yang menarik, dimana Islam sebagai agama universal merupakan rahmat bagi semesta alam, dan dalam kehadirannya di muka bumi ini, Islam berbaur dengan budaya lokal (local culture), sehingga antara Islam dan budaya lokal pada suatu masyarakat tidak bisa dipisahkan, melainkan keduanya merupakan bagian yang saling mendukung.

Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk semua umat manusia telah memainkan peranannya di dalam mengisi kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Kehadiran Islam di tengah-tengah masyarakat yang sudah memiliki budaya tersendiri, ternyata membuat Islam dengan budaya setempat mengalami akulturasi, yang pada akhirnya tata pelaksanaan ajaran Islam sangat beragam. Namun demikian, Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam tetap menjadi ujung tombak di dalam suatu masyarakat muslim, sehingga Islam begitu identik dengan keberagaman.

Al-Quran sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat Islam adalah sumber kebenaran dan mutlak benarnya. Meskipun demikian, kebenaran mutlak itu tidak akan tampak mana kala Al-Qur`an tidak berinteraksi dengan realitas sosial, atau menurut Quraish Shihab, di bumikan: di baca, di pahami, dan di amalkan. Ketika kebenaran mutlak itu disikapi oleh para pemeluknya dengan latar belakang cultural atau tingkat pengetahuan yang berbeda akan muncul kebenaran kebenaran parsial, sehingga kebenaran mutlak tetap milik Tuhan.

Berdasarkan hal tersebut, maka kebenaran dalam Islam yang dikatakan kebenaran yang mutlak itu bersumber dari Allah, sedangkan kebenaran yang parsial itu hadir pada realitas sosial suatu masyarakat yang kebenarannya akan relatif. Dengan demikian pula, bahwa Islam tetap menghargai keberagaman kebenaran yang ada dalam masyarakat, termasuk keberagaman budaya yang dimiliki suatu masyarakat.

Quraish Shihab, dalam salah satu Kata Pengantar sebuah buku, pernah menyatakan bahwa berdasarkan analisis MB. Hooker, Robert Hefner, John L. Esposito, dan William Liddle, keberadaan Islam di Nusantara bercorak sangat spesifik dimana ekspresinya secara intelektual, cultural, social, dan politik bisa jadi, dan kenyataannya memang berbeda dengan ekspresi Islam yang berada di belahan dunia yang lain.

Islam Indonesia merupakan perumusan Islam dalam konteks sosio-budaya bangsa yang berbeda dengan pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Kenyataan ini bukanlah peristiwa baru, melainkan berlangsung semenjak awal masuknya agama yang diserukan Muhammad ini ke bumi Nusantara. Memperhatikan pernyataan di atas, yang secara substansi tidak jauh berbeda, maka timbul suatu fakta sosial bahwa keberadaan Islam dan umat Muslim di bumi Nusantara telah menjadi “ikon” yang memiliki kelebihan yang sangat unik dan spesifik bila dibandingkan dengan Islam dan umat Muslim di belahan bumi lainnya.

Kemudian, hal ini telah menjadikan Islam di Nusantara menjadi kajian para islamis (orientalis) yang melihat adanya perkembangan serta pengaruh yang cukup signifikan dalam kesejarahan Islam di Nusantara ini.

B. Rumusan Masalah

1.      Apakah pengertian Islam ?

2.      Apakah pengertian Budaya ?

3.      Bagaimana Korelasi Islam dan Budaya di Indonesia ( Nusantara ) ?

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Islam

Islam berakar kata dari aslama, yuslimu, islaaman yang berarti tunduk, patuh, dan selamat. Islam berarti kepasrahan atau ketundukan secara total kepada Allah SWT. Orang yang beragama Islam berarti ia pasrah dan tunduk patuh terhadap ajaran-ajaran Islam. Seorang muslim berarti juga harus mampu menyelamatkan diri sendiri, juga menyelamatkan orang lain. Tidak cukup selamat tetapi juga menyelamatkan.

Secara istilah Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk umat manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat. Inti ajarannya (rukun Islam) adalah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan pergi haji bila mampu.

Islam datang ke bumi untuk membangun manusia dalam kedamaian dengan sikap kepasrahan total kepada Allah SWT, sehingga seorang yang beragama Islam akan mengutamakan kedaiaman pada diri sendiri maupun pada orang lain. Juga keselamatan diri sendiri dan keselamatan orang lain. Dalam sebuah hadits Nabi SAW dikatakan:22

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِه، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

Artinya: Seorang muslim itu yang menyelamatkan muslim yang lain dari perkataannya, dan dari perbuatan tangannya, dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari sesuatu yang dilarang Allah. (HR. Nasa’i).

Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bukan hanya dalam bentuk nilai-nilai yang abstrak, namun juga dituangkan dalam aturan-aturan yang disebut dengan Syariat Islam. Syariat Islam adalah tata aturan (hukum-hukum) Allah SWT yang magatur tata hubungan manusia dengan Allah SWT dan manusia dengan manusia.

Tujuan diturunkannya syariat Islam adalah untuk kebaikan seluruh umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Di dalam Al-Quran Allah menyebutkan beberapa katan syari’ah, di antaranya adalah:

¢OèO y7»oYù=yèy_ 4n?tã 7pyèƒÎŽŸ° z`ÏiB ̍øBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù Ÿwur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÑÈ  

Artinya: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.(QS: Al-Jatsiyah: 18).

ß,ÅÒtƒur Íô|¹ Ÿwur ß,Î=sÜZtƒ ÎT$|¡Ï9 ö@Åör'sù 4n<Î) tbr㍻yd ÇÊÌÈ  

Artinya: Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku Maka utuslah (Jibril) kepada Harun. (QS: Asyuraa: 13).

Dua ayat di atas dapat dimenjelaskan bahwa “syariat” sama dengan “agama”. Syaikh Muhammad Syaltout mengatakan bahwa Syari’at adalah aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah SWT. untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur hubungan dengan Tuhan, dengan manusia, baik sesama muslim maupun non muslim, alam dan seluruh kehidupan.

Dengan kata lain, tujuan diturunkannya Islam adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik ruhani maupun jasmani, individual maupun sosial.

Abu Ishaq al-Shatibi merumuskan lima tujuan (hukum) Islam, yakni:

1.    Memelihara Agama (Hifdz Ad-Din)

2.    Memelihara Jiwa (Hifdz An-Nafs)

3.    Memelihara Akal (Hifdz Al’Aql)

4.    Memelihara Keturunan (Hifdz An-Nasb)

5.    Memelihara Harta (Hifdz Al-Maal) Kelima tujuan hukum Islam tersebut di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al- shari’ah. Dengan 5 (lima) tujuan ini, maka kemaslahatan kehidupan manusia terpenuhi.

B.     Budaya di Indonesia

Kata Budaya berasal dari Bahasa Sansekerta “Buddhayah”, yakni bentuk jamak dari “Budhi” (akal). Jadi, budaya adalah segala hal yang bersangkutan dengan akal. Selain itu kata budaya juga berarti “budi dan daya” atau daya dari budi. Jadi budaya adalah segala daya dari budi, yakni cipta, rasa dan karsa.[1] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya artinya pikiran, akal budi, hasil, adat istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah.[2] Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh sekumpulan anggota masyarakat.[3] Merumuskan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.[4]

Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.[5] Jadi, kebudayaan mencakup semuanya yang di dapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak. Seorang yang meneliti kebudayaan tertentu akan sangat tertarik objek-objek kebudayaan seperti rumah, sandang, jembatan, alat-alat komunikasi dan sebagainya.

Unsur-unsur Budaya atau Kebudayaan Beberapa orang sarjana telah mencoba merumuskan unsur-unsur pokok kebudayaan misalnya pendapat yang dikemukakan oleh Melville J. Herskovits bahwa unsur pokok kebudayaan terbagia menjadi empat bagian yaitu: Alat-alat teknologi, Sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik.[6] Sedangkan Bronislaw Malinowski, menyebut unsur-unsur kebudayaan antara lain:

Sistem normal yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya. Organisasi ekonomi. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan, perlu diingat bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama. Organisasi kekuatan.

 

 

Tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai culture universal, yaitu:

1.      Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor dan sebagainya.

2.      Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).

3.      Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).

4.      Bahasa (lisan maupun tertulis).

5.      Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya).

6.      Sistem pengetahuan.

7.      Religi (sistem kepercayaan).[7]

Selain itu, beberapa unsur-unsur budaya atau kebudayaan, diantaranya adalah sebagai berikut:

1.      Kebudayaan Material (Kebendaan), adalah wujud kebudayaan yang berupa benda-benda konkret sebagai hasil karya manusia, seperti rumah, mobil, candi, jam, benda-benda hasil teknologi dan sebagainya.

2.      Kebudayaan nonmaterial (rohaniah) ialah wujud kebudayaan yang tidak berupa benda-benda konkret, yang merupakan hasil cipta dan rasa manusia, seperti:

a)      Hasil cipta manusia, seperti filsafat serta ilmu pengetahuan, baik yang berwujud teori murni maupun yang telah disusun untuk diamalkan dalam kehidupan masyarakat (pure sciences dan applied sciences).

b)      Hasil rasa manusia, berwujud nilai-nilai dan macam-macam norma kemasyarakatan yang perlu diciptakan untuk mengatur masalah-masalah sosial dalam arti luas, mencakup agama (religi, bukan wahyu), ideologi, kebatinan, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia sebagai anggota masyarakat.[8]

Ciri-ciri Budaya atau Kebudayaan Ada beberapa macam ciri-ciri budaya atau kebudayaan, diantaranya adalah sebagai berikut:

1.      Budaya bukan bawaan tapi dipelajari.

2.      Budaya dapat disampaikan dari orang ke orang, dari kelompok ke kelompok dan dari generasi ke generasi.

3.      Budaya berdasarkan simbol.

4.      Budaya bersifat dinamis, suatu sistem yang terus berubah sepanjang waktu.

5.      Budaya bersifat selektif, merepresentasikan pola-pola perilaku pengalaman manusia yang jumlahnya terbatas.

6.      Berbagai unsur budaya saling berkaitan.

7.      Etnosentrik (menganggap budaya sendiri sebagai yang terbaik atau standar untuk menilai budaya lain).[9]

C. Korelasi Islam dan Budaya

Dalam Islam, istilah budaya atau kebudayaan disebut dengan adab. Islam telah menggariskan adab-adab Islami yang mengatur etika dan norma-norma pemeluknya. Adab-adab Islami ini meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tuntunannya turun langsung dari Allah melalui wahyu kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan terbaik dalam hal etika dan adab ini.

Sebelum kedatangan Islam, yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Arab ketika itu ialah budaya jahiliyah. Di antara budaya jahiliyah yang dilarang oleh Islam, misalnya tahayyul, menisbatkan hujan kepada bintang-bintang, dan lain sebagainya. Dinul-Islam sangat menitik beratkan pengarahan para pemeluknya menuju prinsip kemanusiaan yang universal, menorah sejarah yang mulia dan memecah tradisi dan budaya yang membelenggu manusia, serta mengambil inti sari dari peradaban dunia modern untuk kemaslahatan masyarakat Islami. Allah berfirman dalam QS. Al-Imran : 84-85:

ö@è% $¨YtB#uä «!$$Î/ !$tBur tAÌRé& $uZøŠn=tã !$tBur tAÌRé& #n?tã zNŠÏdºtö/Î) Ÿ@ŠÏè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur šUqà)÷ètƒur ÅÞ$t7óF{$#ur !$tBur uÎAré& 4ÓyqãB 4Ó|¤ŠÏãur šcqŠÎ;¨Y9$#ur `ÏB öNÎgÎn/§ Ÿw ä-ÌhxÿçR tû÷üt/ 7ymr& óOßg÷YÏiB ß`óstRur ¼çms9 tbqßJÎ=ó¡ãB ÇÑÍÈ   `tBur Æ÷tGö;tƒ uŽöxî ÄN»n=óM}$# $YYƒÏŠ `n=sù Ÿ@t6ø)ムçm÷YÏB uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÌÅ¡»yø9$# ÇÑÎÈ    

Artinya : Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma`il, Ishaq, Ya`qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, `Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda- bedakan seorangpun di antara merekadan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri.”Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dandia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”[10]

Selain itu, Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah 2:164:

y7Í´¯»s9'ré& öNÍköŽn=tæ ÔNºuqn=|¹ `ÏiB öNÎgÎn/§ ×pyJômuur ( šÍ´¯»s9'ré&ur ãNèd tbrßtGôgßJø9$# ÇÊÎÐÈ    

Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turun kandari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Diasebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin danawan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.

Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia melalui perantara Rasulullah Muhammad saw. di dalamnya tidak sekadar mengatur satu sisi kehidupan manusia, tetapi seluruh aspek kehidupan tidak luput dari aturan syari’at- Nya. Islam datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang.

Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan. Seperti itulah Islam memandang kebudayaan. Karena kebudayaan itu adalah hasil usaha dan ikhtiyar manusia, maka Islam memandangnya biasa dan sama saja dengan hal-hal yang lain, yaitu takluk pada hukum baik-buruk. Namun perlu digaris bawahi, yang menjadi patokan dalam menilai baik buruknya suatu kebudayaan ialah agama, yakni Al-Qur’an dan Hadits. Bukan semata-mata akal manusia.

Apabila dasar baik buruknya kebudayaan tertentu tidak ada dalam nash, dasarnya kemudian diqiyaskan kepada nash yang berkaitan dengan kebudayaan tersebut atau menggunakan dasar maslahah. Selain itu, pada dasarnya karakteristik hukum Islam adalah Syumul (universal) dan Waqiyah (kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan (penetapannya) sangat memperhatikan tradisi, kondisi (sosio kultural) dan tempat masyarakat sebagai objek (khitab) dan sekaligus subjek (pelaku dan pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqih) juga tidak mengesampikan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi dan cultural setempat.[11]

Berdasarkan kaidah fiqhi yang berbunyi : محكمة دة العا Artinya : “ Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”[12] Tradisi, Kondisi (kultursosial) dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan.

Tujuan utama syari’at Islam (termasuk di dalamnya aspek hukum) untuk kemaslahatan manusia sebagaimana dikemukakan As-Syatibi bahwa Pada gilirannya syaria’at (hukum) Islam akrab, membumi dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya. Sehingga dengan metode adat ini, sangat diharapkan sebagaimana problematika ataua masalah kehidupan dapat dipecahkan dengan metode ushul fiqh salah satunya masalah budaya kabuenga yang mana adat dapat memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar al-Qur’an dan as-Sunnah.[13]

Kaidah di atas menunjukan bahwa suatu adat kebiasaan bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Akan tetapi, jika hal itu menyulitkan orang-orang yang menjalani maka dalam pelaksanaannya tidak bisa dijadikan landasan untuk di ikuti karena pada dasarnya tujuan utama hukum Islam itu sendiri adalah untuk kemaslahatan manusia. Islam sangatlah menghargai suatu budaya yang dianut dalam suatu masyarakat karena budaya memang menjadi salah satu bagian, ciri serta identitas dari suatu masyarakat yang sangat sulit untuk dipisahkan.

Islam pun tidak mengajarkan umatnya untuk meninggalkan semua budaya nenek moyangnya dan hanya melakukan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Budaya apapun boleh dipertahankan asalkan tidak bertentangan dengan syari’at Islam, yang meliputi pertama, tidak mengandung unsur syirik, kafir serta fasik dalam bentuk apapun, kedua, tidak mengandung unsur kemaksiatan, kekerasan serta kemunkaran ketiga, tidak melanggar seluruh peraturan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Dalam kehidupan masyarakat sosial, ada sebagian adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dengan syari’at Islam karena sebagian didalamnya pasti akan ada unsur agama maupun kepercayaan orang-orang dahulu yang terbawa. Disinilah dibutuhkan ketelitian umat Islam untuk memilah budaya serta kreativitas untuk memoles suatu budaya di sana-sini agar benar-benar terbebas dari unsur syirik serta sesuai dengan syari’at Islam.

Islam dan perkembangannya di Nusantara merupakan hal sangat menarik untuk ditelaah secara seksama karena merupakan salah satu perjalanan panjang islam masuk dan berkembang di Nusantara.

Kebinekaan Sukubangsa Indonesia, selain memiliki keanekaan ekosistem dan keanekaragaman hayati, juga memiliki keanekaan atau kebinekaan suku bangsa2 dan bahasa. Indonesia telah tercatat memiliki lebih dari 300 kelompok etnik. Aneka ragam kelompok etnik tersebut bermukim di berbagai lokasi/geografis dan ekosistem, seperti lingkungan pesisir dan pedalam atau perairan daratan.

Sementara itu, berdasarkan bentuk mata pencahariannya berbagai etnik tersebut dapat dibedakan menjadi lingkungan sosial pemburuperamu, nelayan, berladang berpindah atau berladang berotasi, petani menetap, serta industri dan jasa (Purba, 2002: 34). Misalnya, berbagai kelompok pemburu dan peramu yang hidup di perairan, seperti Orang Laut di perairan sekitar Batam, Irang Sekak di perairan utara Pulau Bangka, dan Orang Bajau di sepanjang perairan sebelah timur Pulau Sulawesi.

Berbagai kelompok masyarakat nelayan di Indonesia dicatat di berbagai kawasan pesisir. Contohnya, masyarakat nelayan di Bagan Siapi-api dari suku Cina, nelayan Marunda, Muara Karang dan Cilincing dari suku bangsa Betawi; nelayan Pelabuhan Ratu masih bagian dari suku Sunda, 2 ). Suku bangsa atau kelompopok etnik dapat diartikan sebagai komunitas yang bermukim di suatu daerah, memiliki sejarah yang sama. Mengadopsi kebudayaan yang kurang lebih sama, memiliki kepercayaan dan agama sama, mitos dan legenda sama, dan berbicara dengan satu bahasa. Juga mereka memiliki makanan dasar dan kebiasaan sama (Boedihartono 2008, dikutip oleh Sastapradja, 2010: 81). nelayan Cilacap di pantai Selatan Jawa, nelayan Cirebon dan Gresik di pantai utara Jawa; masyarakat pesisir Pulau Seram, pesisir utara Irian Jaya, pesisir Sulawesi, pesisir Kepulauan Kei.

Berbagai masyarakat pemburu dan peramu di kawasan hutan di Indonesia, tercatat di antaranya Anak Dalam di Jambi, Orang Sakai di pedalaman Riau, Orang Punan di Kalimantan Timur, Orang Asmat di Pedalaman Irian Jaya bagian selatan; orang Nualu di Pedalaman Pulau Seram, Maluku. Berbagai kelompok masya-rakat peladang berpindah di Indonesia, dikenal di antaranya masyarakat Baduy di Banten Selatan, masyarakat Kasepuhan di Sukabumi Selatan bagian dari suku bangsa Sunda; peladang Talang Mamak di pedalaman Riau, bagian suku bangsa Malayu, masyarakat Kantu di Kalimantan Barat, bagian dari kelompok suku bangsa Dayak.

Sementara itu, para petani penetap terutama para petani sawah di berbagai suku bangsa di Indonesia. Pada umumnya tiap suku di Indonesia mempunyai bahasa lokal atau bahasa ibu yang berbeda-beda. Mengingat Indonesia memiliki lebih dari 30 suku bangsa, maka tak heran di Indonesia memiliki sekurangnya 655 bahasa lokal atau bahasa ibu. Jumlah bahasa lokal di Indonesia menempati peringkat ke dua dari 25 negara di dunia yang memiliki bahasa lokal di dunia yang memiliki keanekaan bahasa lokal endemik setelah Papua Guinea (847 bahasa) (Maffi 1999: 24).

Dengan adanya berbahasa lokal telah menyebabkan berbagai kelompok etnik memiliki kemampuan untuk berfikir secara sistimatis dan teratur serta berkembangnya aneka ragam pengetahuan lokal di Indonesia. Misalnya, pengetahuan penduduk lokal tentang botani, seperti pengenalan jenis-jenis tumbuhan, pemanfaatan dan pengelolaannya. Pengetahuan penduduk tentang ekologi pertanian atau agroekosistem, seperti pengelolaan berbagai agroforestri tradisional, seperti pekarangan dan sistem talun-kebun di Jawa Barat; sistem dukuh lembur atau leuweung lembur di Baduy, Banten Selatan; kaliwo atau kalego di Sumba Barat; repong damar di Krui, Lampung; kaleka di Bangka dan Belitung, Sumatera; pelak di Kerinci Jambi, Sumatera; parak di Maninjau, Sumatera Barat; lembo atau simpukng atau lepu atau pun pulung bue di Kalimantan Timur, dan tembawang di Kalimantan Barat (lihat Iskandar, 1998; Iskandar, 2001; Iskandar 2008; de Forestra dkk 2000; Puri 2005; Sulaiman dan Sancin, 2007).

Selain itu, beberapa kelompok etnik di Indonesia juga telah memiliki pengetahuan lokal untuk mengelola kawasan hutan secara berkelanjutan, misalnya dikenal sistem pengelolaan hutan dengan sistem tanah ulen di masyarakat Dayak Kalimantan Timur (sistem zonasi hutan keramat pada masyrakat Baduy (Iskandar, 2009); dan sistem zonasi tradisional pada masyarakat Toro, di kawasan enclave Taman Nasional Lore, Sulawesi Tengah (Baso, 2009).

Tidak hanya itu, beberapa kelompok masyarakat lokal dengan berbekal pengetahuan lokalnya telah mampu mengelola sumber daya air secara berkelanjutan, seperti sistem sasi di Maluku, Sulawesi dan Papua (Wahyono dkk, 2000), dan sistem lubuk larangan di Sumatera (Lubis, 2009).

Islam Nusantara merupakan salah satu konsep yang sangat kompleks untuk mengetahui islam dan budaya di Indonesia, dalam konsep Islam Nusantara memberi pelajaran dan  pemahaman bagaimana Islam dibangun di atas budaya. Penyebaran ajaran Islam menggunakan fasilitas budaya yang tentunya tidak bertentangan dengan ajaran dan syariat Islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

A.      Kesimpulan

Islam berakar kata dari aslama, yuslimu, islaaman yang berarti tunduk, patuh, dan selamat. Islam berarti kepasrahan atau ketundukan secara total kepada Allah SWT. Secara istilah Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk umat manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.

Budaya berasal dari Bahasa Sansekerta “Buddhayah”, yakni bentuk jamak dari “Budhi” (akal). Jadi, budaya adalah segala hal yang bersangkutan dengan akal. Selain itu kata budaya juga berarti “budi dan daya” atau daya dari budi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.

Dalam Islam, istilah budaya atau kebudayaan disebut dengan adab. Islam telah menggariskan adab-adab Islami yang mengatur etika dan norma-norma pemeluknya. Adab-adab Islami ini meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Islam Nusantara merupakan salah satu konsep yang sangat kompleks untuk mengetahui islam dan budaya di Indonesia, dalam konsep Islam Nusantara memberi pelajaran dan  pemahaman bagaimana Islam dibangun di atas budaya. Penyebaran ajaran Islam menggunakan fasilitas budaya yang tentunya tidak bertentangan dengan ajaran dan syariat Islam.

B.       Saran

Demikian makalah ini. Penulis menyadari di dalam penyusunan makalah

ini masih banyak kekurangan baik pada segi penulisan maupunminimnya buku

referensi. Untuk itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan

makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Aamin.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

A. Rahman, H. Asymuni Qaidah-Qaidah Fiqhi (Jakarta: Bulan Bintang, 1976).

Bahri, Husain, SJ. Pedoman Fiqih Islam, kitab Hukum Islam dan Tafsirnya (Surabaya: alIkhlas. 1981).

Departemen Agama RI, Al-Kitabul Akbar (Al-Qur’an dan Terjemahannya) (Jakarta: PT Akbar Media Eka Sarana, 2011.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2000).

Dewantara, Ki Hajar, Kebudayaan (Yogyakarta: Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1994).

Gunawan, Ary H. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2000).

Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqih Sejarah dan Kaidah Asasi, Edisi I, Cet. I (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).

Mulyana, Deddy Komunikasi Efektif : Suatu Pendekatan Lintas Budaya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005).

Soekanto Soerjono. Sosiologi suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2009).

Soelaeman Soemardi Selo dan Soemardjan, Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1964).



[1] Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 16.

[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), Edisi ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h. 169.

[3] Soerjono, Soekanto. Sosiologi suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 150-151.

 

[4] Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1964), h. 115.

[5] Ki Hajar, Dewantara, Kebudayaan (Yogyakarta: Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1994). 10 2.

[6] Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, op,cit., h. 78.

 

[7] Soerjono, Soekanto. op.cit., h. 154.

[8] Ary H. Gunawan., op. cit., h. 17-18.

[9] Deddy Mulyana, Komunikasi Efektif : Suatu Pendekatan Lintas Budaya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 122.

 

[10] Departemen Agama RI, Al-Kitabul Akbar (Al-Qur’an dan Terjemahannya) (Jakarta: PT Akbar Media Eka Sarana, 2011), h. 61.

 

[11] Husain Bahri, SJ. Pedoman Fiqih Islam, kitab Hukum Islam dan Tafsirnya (Surabaya: alIkhlas. 1981), h. 63.

[12] Jaih, Mubarok. Kaidah Fiqih Sejarah dan Kaidah Asasi, Edisi I, Cet. I (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 153.

[13] H. Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqhi (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.88.

Post a Comment for "ISLAM DAN BUDAYA DI INDONESIA"