AKSIOLOGI ILMU

 


Aksiologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang artinya nilai, dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai dalam berbagai bentuk. Dalam kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia tentang nilai-nilai khususnya etika.

Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai.Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya menimbulkan bencana.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah pengertian aksiologi?

2.      Bagaimanakah perkembangan metode ilmu?

3.      Bagaimanakah konsep ilmu filsafat?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui  pengertian aksiologi.

2.      Mengetahui  perkembangan metode ilmu.

3.      Mengetahui  konsep ilmu filsafat.

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Aksiologi

Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata-kata “Axios” berarti nilai, dan “Logos” yang berarti ilmu atau teori. Jadi Aksiologi artinya teori tentang nilai. Teori yang membahas tentang hakekat nilai karena itu aksiologi disebut juga “Filsafat Nilai”. Persoalan tentang nilai apabila dibahas secara filsafat, maka akan lebih memperhatikan persoalan tentang “sumber nilai”.[1] Sedangkan pengertian aksiologi menurut Jujun S. Suriasumantri adalah teori, nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[2]

Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula.

Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya yang menimbulkan bencana.[3]

Menurut pandangan Kattsoff, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang  hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan dan menurut Barneld, aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang nilai-nilai, menjelaskan berdasarkan kriteria atau prinsip tertentu yang dianggap baik di dalam tingkah laku manusia.

B.     Perkembangan Metode Ilmu

1.      Hubungan Ilmu dan Budaya

Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti mengerti memahami benar – benar. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebutscience; dari bahasa Latin scientia (pengetahuan), scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme. Dan pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan tetang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode – metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala – gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu.

Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Melalui ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih murah. Peradapan manusia sangat berhutang kepada ilmu, karena ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.

Ilmu adalah pengetahuan yang pasti, sistematik, metodik, ilmiah dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi. Ilmu membentuk daya intelegensi yang menghasilkan  keterampilan atau (skill).[4] Ilmu merupakan sesuatu yang diketahui oleh individu. Ilmu digali dan ditemukan oleh manusia untuk mempermudah aktivitas dalam kehidupannya. Praja menyatakan ilmu sebagai sesuatu yang melekat pada manusia di mana ia dapat mengetahui segala sesuatu yang asalnya ia tidak ketahui.[5] Ilmu dapat dikatakan secara umum itu berarti tahu. Ilmu itu pengetahuan. Seseorang yang memilki banyak ilmu dapat dikatakan sebagai seorang ilmuan, ahli pengetahuan dan lain sebagainya. Berdasarkan pengertian di atas, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh oleh manusia dengan syarat kriteria ilmiah yang merupakan kebenaran. Pada hakikatnya tujuan ilmu untuk mempermudah aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuannya.

Kebudayaan berasal dari bahasa Sangsekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Menurut Ki Hajar Dewantara Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuang manusia terhadap dua pengaruh kuat yakni alam dan zaman (kodrat dan manusia) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupan guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Malinowski menyatakan kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan atas berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap tingkat kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya guna memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatannya maka timbul kebudayaan yang berupa perlindungan yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu seperti lembaga kemasyarakatan.[6]

Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Menurut Talcot Parsons dalam Suriasumantri, mereka saling mendukung satu sama lain : Dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.[7]

Ilmu dan kebudayaan berada pada posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak perkembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan dipihak lain , pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan.Ilmu terpadu secara intim dengan keseluruhan sistem sosial dan tradisi kebudayaan.

Menurut E.B Taylor dalam buku Primitive Culture ,1871 yang dikutip oleh Jujun, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[8]

Selain dari pendapat diatas terdapat ratusan lain definisi tentang kebudayaan yang telah dipublikasikan tentang kebudayaan selama lebih kurang tiga perempat abad, namun pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang bersifat prinsip dengan definisi pertama yang dicetuskan Taylor.

Menurut Kunjraningrat dalam Suriasumantri menyatakan bahwa kebudayaan terdiri atas system religi dan kepercayaan,upacara keagamaan,system dan organisasi kemasyarakatan,system pengetahuan, bahasa, kesenian,system mata pencarian serta teknologi dan peralatan.[9]

Manusia sebagai suatu objek dan sekaligus subjek dari suatu kebudayaan memiliki kebutuhan –kebutuhan yang sangat banyak,pemenuhan kebutuhan inilah yang menjadi salah satu cara manusia untuk mengembangkan unsur-unsur kebudayaan yang dikenalnya

Maslow dalam Suriasumantri kebutuhan manusia sebagai makhluk diidentifikasi menjadi lima kelompok, yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi. Fisiologis berhubungan dengan seluk beluk kelompok, fungsi dan bagian kehidupan. Rasa aman berhubungan dengan perlindungan diri. Afiliasai berhubungan dengan kerjasama atau hubungan dengan orang lain. Harga diri berhubungan dengan kehormatan. Pengembangan potensi berhubungan dengan kemampuan untuk memaksimalkan bakat dan sebagainya.[10]

Manusia sebagai makhluk tuhan pada dasarnya tidak mampu untuk bertindak instrintif atau berdasarkan naruni semata seperti yang terjadi pada hewan. Oleh karena itulah dikembangkan suatu cara untuk mengajarkan cara hidup yang kita sebut sebagai kebudayaan. Akan tetapi meski tidak dapat bertindak instrintif, manusia memiliki kemampuan komunikasi, belajar dan menguasai objek-objek secara fisik.

Nilai-nilai kebudayaan adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Selain nilai budaya kebudayaan juga diwujudkan dalam tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya. Nilai budaya bersifat abstrak sedangkan tata hidup bersifat real. Kegiatan manusia dapat ditangkap oleh panca indera sedangkan nilai budaya hanya tertangguk oleh budi manusia.

Keseluruhan yang dipaparkan diatas sangat erat kaitannya dengan pendidikan, sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh manusia dengan sadar lewat proses belajar, secara belajarlah yang membuat transfer kebudayaan dari generasi yang satu kegenerasi berikutnya. Dengan demikian kebudayaan diteruskan dari waktu kewaktu : kebudayaan yang telah lalu bereksitensi pada masa kini, kebudayaan masa kini disampaikan ke masa yang akan datang.

Kebudayaan adalah hasil cipta, karya dari manusia, yang bersumber dari akal, rasa dan kehendak manusia. Oleh karena itu, kebudayaan tidak akan dapat berhenti, selama manusia masih menciptakan karya maka, prosesnya akan terus ada. Selama adanya aktivitas manusia untuk mencapai keinginan dan kehendaknya untuk hidup berkualitas. Dengan demikian, apabila kebudayaan adalah hasil karya manusia, maka ilmu ilmu sebagai hasil akal pikir manusia juga merupakan kebudayaan. Namun dapat dikatakan sebagai hasil akhir dalam perkembangan  mental manusia dan dapat dianggap sebagai hasil yang paling optimal dalam kebudayaan manusia.

2.      Hubungan Ilmu dan Agama

Agama dan ilmu sangatlah saling terkait karena orang yang banyak ilmunya apabila tanpa di topang oleh agama semua ilmu tidak akan membawa kemaslahatan umat, sebagai contoh negara- negara maju yang sangat gigih mendalami ilmu dan teknologi, tetapi sering menjadi sumber pemicu terjadinya peperangan, begitupun juga orang yang sangat sibuk dengan belajar agama ,tetapi tidak mau menggali ilmu dan pengetahuan alam disekitar kita , maka akan mengalami kemunduran , sedangkan untuk mencapai kebahgiaaan akhirat haruslah banyak berbut/beribadah dalam hal untuk kemajuaan umat, apa jadinya apabila semua umat berkutik di ritualitas saja, ini adalah suatu pertanyaan gambaran yang menyedihkan.

Seperti halnya dengan ilmu dan filsafat, agama tidak hanya untuk agama, melainkan untuk diterapkan dalam kehidupan dengan segala aspeknya. Pengetahuan dan kebenaran agama yang berisikan kepercayaan dan nilai- nilai dalam kehidupan, dapat dijadikan sumber dalam menentukan tujuan dan pandangan hidup manusia, dan sampai kepada prilaku manuia itu sendiri.Dalam agama sekurang – kurangnya ada empat ciri yang dapat kita kemukakan, yaitu : Adanya kepercayaan terhadap yang gaib, kudus, dan maha agung, dan pencipta alam semesta (Tuhan) Melakukam hubungan dengan hal- hal tersebut, dengan berbagai cara. Seperti dengan mengadakan acara – acara ritual, pemujaan, pengabdian, dan, doa.
Adanya uatu ajaran (doktrin) yang harus dijalankan oleh setiap penganutnya.
Menganut ajaran Islam, ajaran tersebut diturunkan oleh Tuhan rtidak langsung kepada seluruh umat manusia, melainkan kepada Nabi – nabi dan rasulnya. Maka menurut ajaran islam adanya rosul dan kitab suci merupakan ciri khas dari pada agama.

Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena agama menekankan keterlibatan pribadi, walaupun kita dapat sepakat tidak ada definisi agama yang dapat diterima secara universal. Kemajuan spritual manusia dapat diukur dengan tinggi nilai yang tak terbatas yang ia berikan kepada objek yang ia sembah. Seorang yang religius merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan.

Wilayah ilmu berbeda dengan wilayah agama. Jangankan ilmu, akal saja tidak sanggup mengadili agama. Para ulama sekalipun, meski mereka meyakini kebenaran yang dianut tetapi tetap tidak berani mengklaim kebenaran yang dianutnya, oleh karena i-tu mereka selalu menutup pendapatnya dengan kalimat wallohu a`lamu bissawab, bahwa hanya Allahlah yang lebih tahu mana yang benar. Agama berhubungan dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan hati, ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman, ilmu diterima dengan logika.

Meski demikian, dalam sejarah manusia, ilmu dan agama selalu tarik menarik dan berinteraksi satu sama lain. Terkadang antara keduanya akur, bekerjasama atau sama-sama kerja, terkadang saling menyerang dan menghakimi sebagai sesat, agama memandang ilmu sebagai sesat, sebaliknya ilmu memandang perilaku keagamaan sebagai kedunguan.

Belakangan fenomena menunjukkan bahwa kepongahan ilmu tumbang di depan keagungan spiritualitas, sehinga bukan saja tidak bertengkar tetapi antara keduanya terjadi perkawinan. Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa, kemulian seorang mukmin itu diukur dari agamanya, kehormatannya diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya. Ketika nabi ditanya tentang amal yang paling utama, hingga lima kali nabi tetap menjawab husn al khuluq, yakni akhlak yang baik yaitu sekuat mungkin jangan marah.

Agama maupun filsafat berhubungan dengan realitas yang sama. Kedua-duanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama melaporkan prinsip-prinsip tertinggi wujud. Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang diciptakan demi manusia yaitu kebahagiaan tertinggi. Filsafat memberikan laporan berdasarkan persepsi intelektual. Sedangkan agama memaparkan laporannya berdasarkan imajinasi. Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh filsafat, agama memakai metode-metode persuasivfe untuk menjelaskannya.

Agama berusaha membawa tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan esensi mereka. Filsafat dan agama merupakan pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Filsafat dapat digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang didasarkan atas metode demonstrasi yang meyakinkan, suatu metode yang merupakan gabungan dari intuisi intelektual dan putusan logis yang pasti. Berdasarkan alasan ini, filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk dari segala ilmu, kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan, dan seni dari segala seni.

C.    Konsep Ilmu Filsafat

1.        Hakikat Aksiologi Ilmu

Hakikat ilmu dipandang dari sudut aksiologi adalah cara penggunaan atau pemanfaatan pengetahuan ilmiah. Asas dalam keilmuan tersebut digunakan atau dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia. Asas moral yang terkandung didalamnya ditunjukan untuk meningkatkan taraf hidup manusia dengan tetap memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan atau kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu pengetahuan ilmiah secara komunal dan universal.

Aksiologi ilmu (nilai) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan  (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil, dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu kedalam praksis.

Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu:

a.    Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak.

Dalam pengertian yang lebih sempit seperti : baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain, dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika.

b.    Nilai sebagai kata benda konkret.

Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.

c.    Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai.

Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.

Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.

Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. (Koento, 2003: 13). Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi :

a.       Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.

  1. Menurut Wibisono dalam Surajiyo (2009), aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
  2. Scheleer dan Langeveld memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral. 
  3. Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.
  4. Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.

Menurut Bramel, aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu :

a.       Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika.

  1. Estetic Expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
  2. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.

Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.

Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma.

Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan. Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.

Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105).

Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.

2.        Landasan Aksiologi

Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat, untuk kepentingan manusia, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.

Dagobert Runes (1963 : 32) mengemukakan beberapa persoalan dengan nilai yang mencakup :  hakikat nilai, tipe nilai, criteria nilai, dan status metafisika nilai.

a.    Hakikat Nilai

K. Bertens (2007:142) berpendapat, bahwa  hakikat dari nilai-nilai, yaitu :

1)   Nilai berasal dari kehendak: voluntarisme.

2)   Nilai berasal dari kesenangan: Hedonisme

3)   Nilai berasal dari kepentingan. (Perry)

4)   Nilai berasal dari hal yg lebih disukai (preference). Martineau.

5)   Nilai berasal dari kehendak rasio murni. (I.Kant).

 

b.    Tipe nilai

Tipe nilai dapat dibedakan antara lain intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental merupakan alat untuk mencapai nilai intrinsik.

Sebagai contoh nilai intrinsik adalah nilai yang dipancarkan oleh suatu lukisan, dan shalat lima waktu merupakan nilai intrinsik dan merupakan suatu perbuatan yang sangat luhur. Nilai instrumentalnya bahwa dengan melaksanakan shalat akan mencegah perbuatan yang keji/jahat yang dilarang oleh Allah dan tujuan akhirnya mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

c.    Kriteria nilai

Kriteria nilai adalah sesuatu yang menjadi ukuran nilai, bagaimana nilai yang baik, dan bagaimana nilai yang tidak baik. Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.

1)   Kaum hedonist menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan yang dijabarkan oleh individu atau masyarakat.

2)   Kaum idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.

3)   Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolak ukur

d.   Status Metafisika Nilai

Metafisik nilai adalah bagaimana hubungan nilai-nilai tersebut dengan realitas dan dibagi menjadi tiga bagian :

1)   Subjektivisme adalah nilai semata-mata tergantung pengalaman manusia.

2)   Objektivisme logis adalah nilai merupakan hakikat logis atau subsistensi, bebas dari keberadaannya yang dikenal.

3)   Objektivisme metafisik adalah nilai merupakan sesuatu yang ideal bersifat integral, objektif, dan komponen aktif dari kenyataan metafisik. (misalnya: theisme).

 

 

 

3.        Teori Tentang Nilai

Teori Nilai membahas dua masalah yaitu masalah Etika dan Estetika.

a.    Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “ethos” yang berarti adat kebiasaan tetapi ada yang memakai istilah lain yaitu moral dari bahasa latin yakni jamak dari kata nos yang berarti adat kebiasaan juga. Akan tetapi pengertian etika dan moral ini memiliki perbedaan satu sama lainnya.

Etika ini bersifat teori sedangkan moral bersifat praktek. Etika mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak sedangkan moral mempersoalkan bagaimana semestinya tindakan manusia itu. Etika hanya mempertimbangkan tentang baik dan buruk suatu hal dan harus berlaku umum.

Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral (Jujun S. Suriasumantri,  1998 : 235).

Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi.

1)   Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan.

2)   Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.

3)   Utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati.

4)   Deontologi, adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.

b.    Estetika

Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Estetika membahas tentang indah atau tidaknya sesuatu.

Dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni.

4.        Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan

Menurut  Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S. Suriasumatri yaitu pengetahuan adalah kekuasaan. Ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya dan ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.

Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan  dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:

a.     Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.

Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, hendak menentang suatu sistem kebudayaan, sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya.

b.      Filsafat sebagai pandangan hidup.

Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.

  1. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.

Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah-masalah itu dapat diselesaikan


BAB III

PENUTUP

A.            Kesimpulan

Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata-kata Axios berarti nilai, dan “Logos” yang berarti ilmu atau teori. Jadi Aksiologi artinya teori tentang nilai. Teori yang membahas tentang hakekat nilai karena itu aksiologi disebut juga Filsafat Nilai. Persoalan tentang nilai apabila dibahas secara filsafat, maka akan lebih memperhatikan persoalan tentang sumber nilai.

Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula.

B.       Saran

Demikian makalah ini. Penulis menyadari di dalam penyusunan makalah

ini masih banyak kekurangan baik pada segi penulisan maupunminimnya buku

referensi. Untuk itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan

makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Aamin.


DAFTAR PUSTAKA

 

Josef M Monteiro, H.H., M.H, Pendidikan Kewarganegaraan Perjuangan Membentuk Karakter Bangsa (Yogyakarta : DEEPUBLISH, 2015), hlm.

Jujun S. Suriasuantrim, Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1998)

Kunjraningrat dalam Filsafat IlmuSebuah Pengantar Populer Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010, hlm.

Maslow dalam Jujun S.Suriasumantri, Filsafat IlmuSebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010

S Juhaya, Praja,  Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm. 9.

Supartono Widyosiswoyo dalam Surajiyo, Hubungan dan Peran Ilmu terhadap Pengembangan Kebudayaan Nasional, 2009.

Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis , PT. BumiAksara, Jakarta, 2011.

Talcot dalam Jujun S.Suriasumantri, Filsafat IlmuSebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010.

Taylor dalam Jujun S.Suriasumantri, Filsafat IlmuSebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010.

Historian rock, “Definisi Aksiologi dan Ontologi”.  04 oktober 2020. 1.32 PM http://historia-rockgill.blogspot.co.id/2011/12/definisi-aksiologiontologi-dan.html?m=1



[1] Josef M Monteiro, H.H., M.H, Pendidikan Kewarganegaraan Perjuangan Membentuk Karakter Bangsa (Yogyakarta : DEEPUBLISH, 2015), hlm. 24.

[2] Jujun S. Suriasuantrim, Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1998)

[3] Historian rock, “Definisi Aksiologi dan Ontologi”.  04 oktober 2020. 1.32 PM

http://historia-rockgill.blogspot.co.id/2011/12/definisi-aksiologiontologi-dan.html?m=1

[4] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis , PT. BumiAksara, Jakarta, 2011, hlm.122.

[5] S Juhaya, Praja,  Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm. 9.

[6] Supartono Widyosiswoyo dalam Surajiyo, Hubungan dan Peran Ilmu terhadap Pengembangan Kebudayaan Nasional, 2009, hlm. 4.

[7] Talcot dalam Jujun S.Suriasumantri, Filsafat IlmuSebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010, hlm.272.

[8] Taylor dalam Jujun S.Suriasumantri, Filsafat IlmuSebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010, hlm.261.

[9] Kunjraningrat dalam Filsafat IlmuSebuah Pengantar Populer Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010, hlm.261.

[10] Maslow dalam Jujun S.Suriasumantri, Filsafat IlmuSebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010, hlm.262.

Post a Comment for "AKSIOLOGI ILMU"