Aksiologi
merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang
berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang artinya nilai, dan logos artinya
teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai dalam berbagai
bentuk. Dalam kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan
bagi kehidupan manusia tentang nilai-nilai khususnya etika.
Pembahasan
aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas
nilai.Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan
nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu
tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan
kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya menimbulkan bencana.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian aksiologi?
2. Bagaimanakah perkembangan metode
ilmu?
3. Bagaimanakah konsep ilmu filsafat?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian aksiologi.
2. Mengetahui perkembangan metode ilmu.
3. Mengetahui konsep ilmu filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Aksiologi
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu
dari kata-kata “Axios” berarti nilai, dan “Logos” yang berarti ilmu atau teori.
Jadi Aksiologi artinya teori tentang nilai. Teori yang membahas tentang hakekat
nilai karena itu aksiologi disebut juga “Filsafat Nilai”. Persoalan tentang
nilai apabila dibahas secara filsafat, maka akan lebih memperhatikan persoalan
tentang “sumber nilai”.[1]
Sedangkan pengertian aksiologi menurut Jujun S. Suriasumantri adalah teori,
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[2]
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan
tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang
mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan
sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan
yang baik pula.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai
kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang
ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat,
sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam
usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya yang menimbulkan
bencana.[3]
Menurut pandangan Kattsoff, aksiologi adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki tentang
hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan dan
menurut Barneld, aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang
nilai-nilai, menjelaskan berdasarkan kriteria atau prinsip tertentu yang
dianggap baik di dalam tingkah laku manusia.
B. Perkembangan
Metode Ilmu
1.
Hubungan Ilmu dan Budaya
Ilmu
berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman dengan wazan
fa’ila, yaf’alu, yang berarti mengerti memahami benar – benar. Sedangkan
dalam bahasa Inggris disebutscience; dari bahasa Latin scientia (pengetahuan), scire (mengetahui).
Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme. Dan pengertian
ilmu yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan tetang suatu
bidang yang disusun secara bersistem menurut metode – metode tertentu, yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala – gejala tertentu dibidang (pengetahuan)
itu.
Ilmu
merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Melalui ilmu semua
keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih
murah. Peradapan manusia sangat berhutang kepada ilmu, karena ilmu merupakan
sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Ilmu
adalah pengetahuan yang pasti, sistematik, metodik, ilmiah dan mencakup
kebenaran umum mengenai objek studi. Ilmu membentuk daya intelegensi yang
menghasilkan keterampilan atau (skill).[4] Ilmu
merupakan sesuatu yang diketahui oleh individu. Ilmu digali dan ditemukan oleh
manusia untuk mempermudah aktivitas dalam kehidupannya. Praja menyatakan ilmu
sebagai sesuatu yang melekat pada manusia di mana ia dapat mengetahui segala
sesuatu yang asalnya ia tidak ketahui.[5] Ilmu
dapat dikatakan secara umum itu berarti tahu. Ilmu itu pengetahuan. Seseorang
yang memilki banyak ilmu dapat dikatakan sebagai seorang ilmuan, ahli
pengetahuan dan lain sebagainya. Berdasarkan pengertian di atas, ilmu adalah
pengetahuan yang diperoleh oleh manusia dengan syarat kriteria ilmiah yang
merupakan kebenaran. Pada hakikatnya tujuan ilmu untuk mempermudah aktivitas
manusia dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuannya.
Kebudayaan
berasal dari bahasa Sangsekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang
bersangkutan dengan akal. Menurut Ki
Hajar Dewantara Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuang
manusia terhadap dua pengaruh kuat yakni alam dan zaman (kodrat dan manusia)
yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan
dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupan guna mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Malinowski
menyatakan kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan atas berbagai sistem
kebutuhan manusia. Tiap tingkat kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang
khas. Misalnya guna memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatannya maka timbul
kebudayaan yang berupa perlindungan yakni seperangkat budaya dalam bentuk
tertentu seperti lembaga kemasyarakatan.[6]
Ilmu
merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari
kebudayaan. Menurut Talcot Parsons dalam Suriasumantri, mereka saling mendukung
satu sama lain : Dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang dengan
pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan
wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.[7]
Ilmu
dan kebudayaan berada pada posisi yang saling tergantung dan saling
mempengaruhi. Pada satu pihak perkembangan ilmu dalam suatu masyarakat
tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan dipihak lain , pengembangan
ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan.Ilmu terpadu secara intim dengan
keseluruhan sistem sosial dan tradisi kebudayaan.
Menurut
E.B Taylor dalam buku Primitive Culture ,1871 yang dikutip oleh Jujun,
kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya
yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[8]
Selain
dari pendapat diatas terdapat ratusan lain definisi tentang kebudayaan yang
telah dipublikasikan tentang kebudayaan selama lebih kurang tiga perempat abad,
namun pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang bersifat prinsip dengan
definisi pertama yang dicetuskan Taylor.
Menurut
Kunjraningrat dalam Suriasumantri menyatakan bahwa kebudayaan terdiri atas
system religi dan kepercayaan,upacara keagamaan,system dan organisasi
kemasyarakatan,system pengetahuan, bahasa, kesenian,system mata pencarian serta
teknologi dan peralatan.[9]
Manusia
sebagai suatu objek dan sekaligus subjek dari suatu kebudayaan memiliki kebutuhan
–kebutuhan yang sangat banyak,pemenuhan kebutuhan inilah yang menjadi salah
satu cara manusia untuk mengembangkan unsur-unsur kebudayaan yang dikenalnya
Maslow
dalam Suriasumantri kebutuhan manusia sebagai makhluk diidentifikasi menjadi
lima kelompok, yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, afiliasi, harga diri dan
pengembangan potensi. Fisiologis berhubungan dengan seluk beluk kelompok,
fungsi dan bagian kehidupan. Rasa aman berhubungan dengan perlindungan diri.
Afiliasai berhubungan dengan kerjasama atau hubungan dengan orang lain. Harga
diri berhubungan dengan kehormatan. Pengembangan potensi berhubungan dengan
kemampuan untuk memaksimalkan bakat dan sebagainya.[10]
Manusia
sebagai makhluk tuhan pada dasarnya tidak mampu untuk bertindak instrintif atau
berdasarkan naruni semata seperti yang terjadi pada hewan. Oleh karena itulah
dikembangkan suatu cara untuk mengajarkan cara hidup yang kita sebut sebagai
kebudayaan. Akan tetapi meski tidak dapat bertindak instrintif, manusia
memiliki kemampuan komunikasi, belajar dan menguasai objek-objek secara fisik.
Nilai-nilai
kebudayaan adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap wujud
kebudayaan. Selain nilai budaya kebudayaan juga diwujudkan dalam tata hidup
yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang
dikandungnya. Nilai budaya bersifat abstrak sedangkan tata hidup bersifat real.
Kegiatan manusia dapat ditangkap oleh panca indera sedangkan nilai budaya hanya
tertangguk oleh budi manusia.
Keseluruhan
yang dipaparkan diatas sangat erat kaitannya dengan pendidikan, sebab semua
materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh manusia dengan sadar
lewat proses belajar, secara belajarlah yang membuat transfer kebudayaan dari
generasi yang satu kegenerasi berikutnya. Dengan demikian kebudayaan diteruskan
dari waktu kewaktu : kebudayaan yang telah lalu bereksitensi pada masa kini,
kebudayaan masa kini disampaikan ke masa yang akan datang.
Kebudayaan
adalah hasil cipta, karya dari manusia, yang bersumber dari akal, rasa dan kehendak
manusia. Oleh karena itu, kebudayaan tidak akan dapat berhenti, selama manusia
masih menciptakan karya maka, prosesnya akan terus ada. Selama adanya aktivitas
manusia untuk mencapai keinginan dan kehendaknya untuk hidup berkualitas.
Dengan demikian, apabila kebudayaan adalah hasil karya manusia, maka ilmu ilmu
sebagai hasil akal pikir manusia juga merupakan kebudayaan. Namun dapat
dikatakan sebagai hasil akhir dalam perkembangan mental manusia dan dapat dianggap sebagai
hasil yang paling optimal dalam kebudayaan manusia.
2.
Hubungan Ilmu dan Agama
Agama
dan ilmu sangatlah saling terkait karena orang yang banyak ilmunya apabila
tanpa di topang oleh agama semua ilmu tidak akan membawa kemaslahatan umat,
sebagai contoh negara- negara maju yang sangat gigih mendalami ilmu dan
teknologi, tetapi sering menjadi sumber pemicu terjadinya peperangan, begitupun
juga orang yang sangat sibuk dengan belajar agama ,tetapi tidak mau menggali
ilmu dan pengetahuan alam disekitar kita , maka akan mengalami kemunduran , sedangkan
untuk mencapai kebahgiaaan akhirat haruslah banyak berbut/beribadah dalam hal
untuk kemajuaan umat, apa jadinya apabila semua umat berkutik di ritualitas
saja, ini adalah suatu pertanyaan gambaran yang menyedihkan.
Seperti
halnya dengan ilmu dan filsafat, agama tidak hanya untuk agama, melainkan untuk
diterapkan dalam kehidupan dengan segala aspeknya. Pengetahuan dan kebenaran
agama yang berisikan kepercayaan dan nilai- nilai dalam kehidupan, dapat
dijadikan sumber dalam menentukan tujuan dan pandangan hidup manusia, dan
sampai kepada prilaku manuia itu sendiri.Dalam agama sekurang – kurangnya ada
empat ciri yang dapat kita kemukakan, yaitu : Adanya kepercayaan terhadap yang
gaib, kudus, dan maha agung, dan pencipta alam semesta (Tuhan) Melakukam hubungan
dengan hal- hal tersebut, dengan berbagai cara. Seperti dengan mengadakan acara
– acara ritual, pemujaan, pengabdian, dan, doa.
Adanya uatu ajaran (doktrin) yang harus dijalankan oleh setiap penganutnya.
Menganut ajaran Islam, ajaran tersebut diturunkan oleh Tuhan rtidak langsung
kepada seluruh umat manusia, melainkan kepada Nabi – nabi dan rasulnya. Maka
menurut ajaran islam adanya rosul dan kitab suci merupakan ciri khas dari pada
agama.
Agama
berbeda dengan sains dan filsafat karena agama menekankan keterlibatan pribadi,
walaupun kita dapat sepakat tidak ada definisi agama yang dapat diterima secara
universal. Kemajuan spritual manusia dapat diukur dengan tinggi nilai yang tak
terbatas yang ia berikan kepada objek yang ia sembah. Seorang yang religius
merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap
sebagai sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan.
Wilayah
ilmu berbeda dengan wilayah agama. Jangankan ilmu, akal saja tidak sanggup
mengadili agama. Para ulama sekalipun, meski mereka meyakini kebenaran yang
dianut tetapi tetap tidak berani mengklaim kebenaran yang dianutnya, oleh
karena i-tu mereka selalu menutup pendapatnya dengan kalimat wallohu a`lamu
bissawab, bahwa hanya Allahlah yang lebih tahu mana yang benar. Agama
berhubungan dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan
hati, ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman, ilmu diterima dengan
logika.
Meski
demikian, dalam sejarah manusia, ilmu dan agama selalu tarik menarik dan
berinteraksi satu sama lain. Terkadang antara keduanya akur, bekerjasama atau
sama-sama kerja, terkadang saling menyerang dan menghakimi sebagai sesat, agama
memandang ilmu sebagai sesat, sebaliknya ilmu memandang perilaku keagamaan
sebagai kedunguan.
Belakangan
fenomena menunjukkan bahwa kepongahan ilmu tumbang di depan keagungan
spiritualitas, sehinga bukan saja tidak bertengkar tetapi antara keduanya
terjadi perkawinan. Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan
bahwa, kemulian seorang mukmin itu diukur dari agamanya, kehormatannya diukur
dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya. Ketika nabi ditanya tentang
amal yang paling utama, hingga lima kali nabi tetap menjawab husn al khuluq,
yakni akhlak yang baik yaitu sekuat mungkin jangan marah.
Agama
maupun filsafat berhubungan dengan realitas yang sama. Kedua-duanya terdiri
dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama melaporkan prinsip-prinsip
tertinggi wujud. Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang diciptakan demi
manusia yaitu kebahagiaan tertinggi. Filsafat memberikan laporan berdasarkan
persepsi intelektual. Sedangkan agama memaparkan laporannya berdasarkan
imajinasi. Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh filsafat, agama memakai
metode-metode persuasivfe untuk menjelaskannya.
Agama
berusaha membawa tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan
esensi mereka. Filsafat dan agama merupakan pendekatan mendasar menuju pada
kebenaran. Filsafat dapat digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang
didasarkan atas metode demonstrasi yang meyakinkan, suatu metode yang merupakan
gabungan dari intuisi intelektual dan putusan logis yang pasti. Berdasarkan
alasan ini, filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk dari
segala ilmu, kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan, dan seni dari segala
seni.
C.
Konsep Ilmu Filsafat
1.
Hakikat Aksiologi Ilmu
Hakikat ilmu dipandang dari sudut aksiologi adalah cara penggunaan atau
pemanfaatan pengetahuan ilmiah. Asas dalam keilmuan tersebut digunakan atau
dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia. Asas moral yang terkandung
didalamnya ditunjukan untuk meningkatkan taraf hidup manusia dengan tetap
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan atau
kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu pengetahuan ilmiah secara komunal dan
universal.
Aksiologi ilmu (nilai) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat
nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa
yang dinilai. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut
sebagai kebenaran atau kenyataan itu sebagaimana kehidupan kita yang
menjelajahi kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil, dan
kawasan simbolik yang masing-masing menunjukan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih
dari itu, aksiologi juga menunjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita
perhatikan di dalam menerapkan ilmu kedalam praksis.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan
dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu:
a.
Nilai,
digunakan sebagai kata benda abstrak.
Dalam pengertian yang lebih sempit seperti :
baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup
sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Penggunaan
nilai yang lebih luas merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau
predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain, dan ia berbeda
dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika.
b.
Nilai
sebagai kata benda konkret.
Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai
atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang
bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai
untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan
apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c.
Nilai
juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan
dinilai.
Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif
digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia
bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai.
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan
estetika. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam
kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan
simbolik atau pun fisik material. (Koento, 2003: 13). Jadi, aksiologi adalah
teori tentang nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi :
a. Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.
- Menurut Wibisono dalam Surajiyo (2009),
aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral
sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
- Scheleer dan Langeveld memberikan definisi
tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan
praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering
dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik
secara moral.
- Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi
terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian
filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan
estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang
karya manusia dari sudut indah dan jelek.
- Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu
pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari
sudut pandang kefilsafatan.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu :
a. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang
ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika.
- Estetic Expression, yaitu ekspresi keindahan.
Bidang ini melahirkan keindahan.
- Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial
politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa
objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan
pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan
tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang
melibatkan norma-norma.
Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan
yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan
buruk (good and bad), benar dan salah
(right and wrong), serta tentang cara
dan tujuan. Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk
perilaku etis.
Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut kamus Bahasa Indonesia
aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian
tentang nilai-nilai khususnya etika (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105).
Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika.
2.
Landasan Aksiologi
Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup
manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat,
untuk kepentingan manusia, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan
dipergunakan secara komunal dan universal.
Dagobert Runes (1963 : 32) mengemukakan beberapa persoalan dengan nilai
yang mencakup : hakikat nilai, tipe
nilai, criteria nilai, dan status metafisika nilai.
a.
Hakikat
Nilai
K. Bertens (2007:142) berpendapat, bahwa
hakikat dari nilai-nilai, yaitu :
1)
Nilai
berasal dari kehendak: voluntarisme.
2)
Nilai
berasal dari kesenangan: Hedonisme
3)
Nilai
berasal dari kepentingan. (Perry)
4)
Nilai
berasal dari hal yg lebih disukai (preference). Martineau.
5)
Nilai
berasal dari kehendak rasio murni. (I.Kant).
b.
Tipe
nilai
Tipe nilai dapat dibedakan antara lain
intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik merupakan nilai akhir yang
menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental merupakan alat untuk mencapai
nilai intrinsik.
Sebagai contoh nilai intrinsik adalah nilai
yang dipancarkan oleh suatu lukisan, dan shalat lima waktu merupakan nilai
intrinsik dan merupakan suatu perbuatan yang sangat luhur. Nilai
instrumentalnya bahwa dengan melaksanakan shalat akan mencegah perbuatan yang keji/jahat
yang dilarang oleh Allah dan tujuan akhirnya mendapat kebahagiaan di dunia dan
di akhirat.
c.
Kriteria
nilai
Kriteria nilai adalah sesuatu yang menjadi
ukuran nilai, bagaimana nilai yang baik, dan bagaimana nilai yang tidak baik.
Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
1)
Kaum
hedonist menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan yang dijabarkan
oleh individu atau masyarakat.
2)
Kaum
idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.
3)
Kaum
naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolak ukur
d.
Status
Metafisika Nilai
Metafisik
nilai adalah bagaimana hubungan nilai-nilai tersebut dengan realitas dan dibagi
menjadi tiga bagian :
1)
Subjektivisme
adalah nilai semata-mata tergantung pengalaman manusia.
2)
Objektivisme
logis adalah nilai merupakan hakikat logis atau subsistensi, bebas dari
keberadaannya yang dikenal.
3)
Objektivisme
metafisik adalah nilai merupakan sesuatu yang ideal bersifat integral,
objektif, dan komponen aktif dari kenyataan metafisik. (misalnya: theisme).
3.
Teori Tentang Nilai
Teori Nilai membahas dua masalah yaitu masalah Etika dan Estetika.
a.
Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari
kata “ethos” yang berarti adat kebiasaan tetapi ada yang memakai istilah lain
yaitu moral dari bahasa latin yakni jamak dari kata nos yang berarti adat
kebiasaan juga. Akan tetapi pengertian etika dan moral ini memiliki perbedaan
satu sama lainnya.
Etika ini bersifat teori sedangkan moral
bersifat praktek. Etika mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak
sedangkan moral mempersoalkan bagaimana semestinya tindakan manusia itu. Etika
hanya mempertimbangkan tentang baik dan buruk suatu hal dan harus berlaku umum.
Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki
hubungan erat. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk
menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan
kebenaran, diperlukan keberanian moral (Jujun S. Suriasumantri, 1998 : 235).
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat
teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme,
utiliterisme dan deontologi.
1)
Hedoisme
adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan
kesenangan.
2)
Eudemonisme
menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan dan adapun tujuan dari
manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.
3)
Utilitarisme,
yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga
negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang
disebut hak-hak kodrati.
4)
Deontologi,
adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut
Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik.
Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya
kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
b.
Estetika
Estetika berkaitan dengan nilai tentang
pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya. Estetika membahas tentang indah atau tidaknya
sesuatu.
Dalam dunia pendidikan hendaklah nilai
estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni
dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan
Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan
masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta
masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya
menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni.
4.
Kegunaan
Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Menurut Francis
Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S. Suriasumatri yaitu pengetahuan adalah
kekuasaan. Ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai
kebahagiaan hidupnya dan ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik
ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat
ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan
dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
a. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan
memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia
atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, hendak menentang
suatu sistem kebudayaan, sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya
mempelajari teori-teori filsafatnya.
b. Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori
ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu
sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
- Filsafat sebagai metodologi dalam
memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah-masalah itu dapat diselesaikan
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu
dari kata-kata Axios berarti nilai, dan “Logos” yang berarti ilmu atau teori.
Jadi Aksiologi artinya teori tentang nilai. Teori yang membahas tentang hakekat
nilai karena itu aksiologi disebut juga Filsafat Nilai. Persoalan tentang nilai
apabila dibahas secara filsafat, maka akan lebih memperhatikan persoalan tentang
sumber nilai.
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan
tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang
mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan
sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan
yang baik pula.
B. Saran
Demikian makalah ini. Penulis menyadari di dalam
penyusunan makalah
ini
masih banyak kekurangan baik pada segi penulisan maupunminimnya buku
referensi.
Untuk itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Aamin.
DAFTAR PUSTAKA
Josef M Monteiro, H.H., M.H, Pendidikan
Kewarganegaraan Perjuangan Membentuk Karakter Bangsa (Yogyakarta : DEEPUBLISH,
2015), hlm.
Jujun S. Suriasuantrim, Filsafah Ilmu, Sebuah
Pengembangan Populasi (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1998)
Kunjraningrat dalam Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010, hlm.
Maslow dalam Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010
S Juhaya, Praja, Aliran-aliran Filsafat
dan Etika, Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm. 9.
Supartono Widyosiswoyo dalam Surajiyo, Hubungan dan
Peran Ilmu terhadap Pengembangan Kebudayaan Nasional, 2009.
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis , PT. BumiAksara, Jakarta, 2011.
Talcot dalam Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010.
Taylor dalam Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010.
Historian rock, “Definisi Aksiologi dan
Ontologi”. 04 oktober 2020. 1.32 PM http://historia-rockgill.blogspot.co.id/2011/12/definisi-aksiologiontologi-dan.html?m=1
[1] Josef M Monteiro, H.H., M.H, Pendidikan
Kewarganegaraan Perjuangan Membentuk Karakter Bangsa (Yogyakarta : DEEPUBLISH,
2015), hlm. 24.
[2] Jujun S. Suriasuantrim, Filsafah Ilmu,
Sebuah Pengembangan Populasi (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1998)
[3] Historian rock, “Definisi Aksiologi dan
Ontologi”. 04 oktober 2020. 1.32 PM
http://historia-rockgill.blogspot.co.id/2011/12/definisi-aksiologiontologi-dan.html?m=1
[4]
Susanto,
Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis , PT. BumiAksara, Jakarta, 2011, hlm.122.
[5]
S
Juhaya, Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Prenada
Media, Jakarta, 2003, hlm. 9.
[6] Supartono Widyosiswoyo dalam Surajiyo, Hubungan dan
Peran Ilmu terhadap Pengembangan Kebudayaan Nasional, 2009, hlm. 4.
[7] Talcot dalam Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010, hlm.272.
[8]
Taylor
dalam Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010, hlm.261.
[9]
Kunjraningrat
dalam Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 2010, hlm.261.
[10] Maslow dalam Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2010, hlm.262.
Post a Comment for "AKSIOLOGI ILMU"