Nikah Via Internet (IT)



MAKALAH FIQHI MUNAKAHAT














JUDUL
Menikah Via Internet”
OLEH :
ISMAIL USMAN
AHWAL AL SYAHKSIAH, SEMESTER IV

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AS’ADIYAH SENGKANG KABUPATEN WAJO, TAHUN AKADEMIK 2015/2016




KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas karya ilmiyah ini dengan baik. Sholawat serta salam senantiasa terlimpah pada junjungan kita beliau Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya penulis selaku penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang terlibat dalam penyusunan Karya Ilmiyah tentang Menikah via internet (IT), karya ilmiyah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqhi al munaakahat dan untuk menambah wawasan pengetahuan lebih luas.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan, olehnya itu penulis mengharap adanya kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar menjadi perbaikan pada tugas yang selanjutnua. Atas perhatiannya diucapkan banyak terima kasih.
Sengkang 20 februari 2016
Penyusun

ISMAIL USMAN











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                 ii
DAFTAR ISI                                                                                                 iii

BAB I PENDAHULUAN                                                                            1
          A. Latar Belakang Masalah                                                                   1
          B. Rumusan Masalah                                                                             1
          C. Tujuan Penulisan                                                                               1
BAB II PEMBAHASAN                                                                              2
A.  Pengertian Pernikahan......................................................................2         
B.  Rukun Nikah.....................................................................................3
C.  Menikah Via Internet (IT).................................................................4
BAB III PENUTUP                                                                                      9
A.  Kesimpulan                                                                                       9
B.  Saran                                                                                                 9
DAFTAR PUSTAKA                                                                                 








BAB I
PENDAHULUN

A.                  Latar Belakang Masalah

Perkawinan dalam islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka, amatlah tepat jika kompilasi menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat (miitsaqom gholiidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakanya merupakan ibadah. Perkawinan merupakan wadah penyaluran biologis manusia yang wajar.Dalam ajaran Nabi, perkawinan ditradisikan menjadi sunnah beliau. Karena itulah, perkawinan yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rohmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyariatkannya perkawinan tercapai.

B.                  Rumusan Masalah
1.       Apakah pengertian pernikahan itu?
2.       Apa rukun rukun nikah?
3.       Bagaimana hukum menikah via internet dan semacamnya (IT)?

C.                  Tujuan Permasalahan
1.       Mengetahui pengertian pernikahan.
2.       Mengetahui rukun rukun pernikahan.
3.       Mengetahui hukum pernikahan melalui via internet dan semacamnya.












BAB II
PEMBAHASAN

A.                  Pengertian Pernikahan

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk Nya. Nikah adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.[1] Nikah menurutbahasa berarti “himpunan” (adh-dham) “kumpulan” (al-jam’u), atau “hubungan intim” (al-wath’u).  Sedangkan nikah secara syar’i adalah akad yang membolehkan atau menghalalkan hubungan intim dengan menggunakan kata ‘menikahkan’, ‘mengawinkan’, atau terjemah keduanya.
 Menurut UU No 1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa: “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial yang sacral.[2]
Keinginan untuk menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk meujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda:
يَا مَعْشَرَ ا لشَبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةْ فَلْ يَتَزَوَّجْ فَأِنَّهُ أَغَضَّ لِلْبَصَرِ وَ أَحْصَنُ لِلْفزج وَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ
 فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَأِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه البخري و مسلم[3]


Artinya: “Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukan mata dan memelihara farji (kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim).[4]


B.                  Rukun Nikah

 Rukun yaitu sesuatu yang harus ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya pengantin laki-laki dan perempuan dalam suatu pernikahan.
Adapun rukun nikah adalah:
a)       Mempelai laki-laki
b)       Mempelai perempuan
c)       Wali

Sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ[5]

Artinya: “barang siapa diantara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal.”(HR. Empat orang ahli hadist kecuali Nasai).[6]

d)       Dua Saksi

Suatu pernikahan tidak sah apabila tidak ada dua orang saksi. Sabda Rasulullah Saw:
لاَ نِكَاحَ الاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ. (رواه احمد)[7]
Artinya: “Tidak sah nikah kecuali dengan dua saksi yang adil”. (HR. Ahmad).[8]
e)       Sighat (ijab qabul)
Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah Ijab Kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad.[9]
Sighat ialah ijab dari wali sang istri, seperti perkataannya: زَوَّجْتُكَ Aku nikahkan engkau, atau أَنْكَحْتُكَ اَبْنَتِي “Aku nikahkan engkau dengan anak perempuanku”. Dan qabul dari suami, seperti perkataanya: تَزَوَّجْتُ “Aku terima nikahnya”, atau نَكَحْتُ ابْنَتَكَ “Aku telah menikah dengan anak perempuanmu”. Lafal yang diucapkan suami boleh mendahului lafal yang diucapkan wali karena didahulukan atau diakhirkan itu sama maksudnya.[10]
Tidaklah sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah, tazwij atau terjemah dari keduanya. Sabda Rasulullah Saw:
ِتَّقُوْا الله فِي النِّسَآءِ فَاِنَّكُمْ اَخَذْتُمُوْهُنَّ بِاَمَانَةِ الله وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْاجَهُنَّ بِكَلِمَةِ الله (رؤاه مسلم)[11]

Artinya:“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah”. (HR. Muslim).[12]

Yang dimaksud dengan “Kalimat Allah” dalam hadis diatas ialah al-Qur’an dalam al-Qur’an tidak disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tazwij), maka harus dituruti agar tidak salah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa akad sah dengan lafadz yang lain, asal maknanya sama dengan kedua lafadz tersebut, karena asal lafadz akad tersebut ma’qul makna, tidak semata-mata ta’abbudi.
f)        Mahar
Dalam istilah ahli fikih, disamping perkataan mahar juga dipakai perkataan : shadaq, nihlah dan faridhah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.[13]

C.                  Menikah Via Internet dan semacamnya
Adapun sebelum kita melangkah lebih jauh tentang permasalahan ini ada baiknya perlu kita bahas terlebih dahulu mengenai rukun dan syarat nikah yang telah ditetapkan oleh para ulama terdahulu sebagai tolak ukur diterima (sah) atau tidaknya suatu pernikahan. Adapun dalam kitab Fathu al-Qorib karya Syekh Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad bin Qasim al-Syafii tentang rukun dan syarat-syarat nikah disebutkan : adanya calon suami dan calon istri yang saling rela antara satu dengan yang lainnya,adanya Shighat akad nikah atau ijab qobul dan adanya 2 orang saksi yang adil serta adanya wali dari pihak calon istri. Selain itu hendaknya Wali dan dua orang saksi harus memenuhi 6 syarat diantaranya : Islam,Baligh,Berakal (tidak gila),Bebas (merdeka),dan Adil.Yang mana dari keenam syarat tersebut antara satu dengan yang lain harus ada dan saling melengkapi. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Daruqutni,dan Ibnu Majjah dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda : “ Tidak sah suatu pernikahan apabila tanpa wali yang cerdas dan dua saksi yang adil “ Sedangkan dalam madzhab maliki selain dari 5 syarat yang telah disebutkan di atas terdapat penambahan mahar sebagai syarat sahnya nikah.
Peng-interpretasian para ulama dalam menanggapi hadits tentang perwalian di atas berbeda-beda ada yang setuju dan ada pula yang kurang sependapat dengan hadits di atas. Madzhab Hanafiyyah misalnya,dalam hal perwalian dalam pelaksanaan akad nikah imam hanafi tidak memasukkan harus adanya wali sebagai syarat sahnya suatu akad pernikahan.Pendapat hanafi ini didasarkan pada interpretasi imam hanafi dalam memahami hadits di atas.Sedangkan menurut pendapat imam as-Syafii adanya wali dalam akad nikah merupakan syarat sahnya suatu pernikahan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa rukun dalam pernikahan adalah adanya calon suami-istri, adanya wali dari pihak perempuan, adanya saksi sekurang-kurangnya dua orang, dan ijab-kabul. Pada konteks pernikahan via-online kesemua rukun diatas telah terpenuhi dan kedua mempelai siap untuk dinikahkan. Dan di dalam syarat sahnya suatu pernikahan terdapat akad nikah yang harus dilakukan diantara kedua belah pihak. Adapun syarat sahnya suatu akad antara lain: (1) Shoriih al-Ijab atau Jelasnya dalil ijab atas kabul (2)muwafiq al-Qabul li al-Ijab atau Qabul yang sesuai dengan Ijab (3) Fi mauqi’in wahidin atau Akad dilakukan pada satu majelis (waktu).
Pada pelaksanaan akad nikah,pengucapan ijab dan qabul diharuskan dilakukan secara sharih atau jelas dan dapat dimengerti oleh semua yang hadir. Kalimat yang digunakan diharuskan diucapkan secara langsung dan tidak menggunakan istilah ataupun perumpamaan-perumpamaan yang sulit dipahami. Selain itu jawaban qabul harus sesuai dengan ijab yang telah diucapkan oleh wali dari calon istri dan jawaban qabul harus segera diucapkan setelah pelaksanaan ijab. Adapun yang terakhir adalah pelaksanaan akad harus dalam satu majlis.
Dalam hal akad nikah,para ulama fiqih sepakat bahwa pelaksanaan akad nikah harus dilakukan dalam satu majlis. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat dalam menginterpretasi dan memahami makna dari ungkapan dalam satu majlis tersebut. Dalam madzhab as-Syafi’iyyah ungkapan dalam satu majlis ini dimaknai secara dhahiriyyah, dalam arti semua pihak yang melaksanakan akad harus berada pada satu tempat yang secara tidak langsung tentu harus dilakukan dalam satu waktu yang sama. Sedangkan para ulama madzhab hanbali memahami ungkapan dalam satu majlis itu dengan satu waktu,dalam arti pelaksanaan akad tidak mamperdulikan keterikatan tempat.
Dan pernikahan seperti ini sudah digambarkan pada masa Rasulullah saw yang mana pada suatu hadist disebut kan:
Artinya :“Bahwasanya Umu Habibah adalah Istri Ubaidillah bin Jatsy. Ubaidillah meninggal di negeri Habasyah, maka raja Habasyah (semoga Allah memberi rahmat kepadanya) menikahkan Umu Habibah kepada Nabi SAW, ia bayarkan maharnya 4000 dirham, lalu ia kirimkan Umu Habibah kepada Nabi SAW bersama Surah Bil bin Hasanah lalu Nabi SAW menerimanya. H.R Abu Daud dan Nasa’i.[14]
Jika dititik tolakkan pada kedua pendapat di atas dan dilihat dari syarat sahnya suatu akad maka,diisinilah sebenarnya letak titik permasalahan yang ada dalam pernikahan yang dilaksanakan secara via-online. Pada era teknologi yang serba canggih ini, khususnya dalam penggunaan  fasilitas internet secara via-online , kita dapat bertatap muka dan berkomunikasi dengan lawan bicara kita seperti halnya kita bertemu dan berkomunikasi dengan lawan bicara kita secara langsung. Menurut pandangan madzhab hanbali,hal ini tentu tidak akan mengurangi syarat sahnya suatu akad nikah seperti yang telah dijelaskan diatas, karena pada intinya ijab dan qabul dalam hal ini dapat dilakukan secara jelas asalkan dilaksanakan pada satu waktu dan calon istri, wali serta para saksi bisa melihat kehadiran calon suami  secara via-online. Sedangkan menurut pendapat ulama syafi’iyyah, pernikahan yang dilaksanakan secara via-online ini tentu belum memenuhi syarat sahnya suatu akad nikah,karena pada intinya akad nikah yang dilakukan dengan cara yang seperti ini tidak terikat tempat (tidak dalam satu tempat) dan orang yang bersangkutan tidak ber-talaqqi dan musyafahah (tidak bertemu dan mengucapkan akad nikah secara langsung) dalam pelaksanaan akad tersebut.
Jadi dilihat dari rangkaian pendapat para ulama terkait permasalahan ini dapat disimpulkan bahwa, dalam menetapkan hukum pernikahan secara via-online, dari kalangan ulama fiqhiyyah terbagi menjadi dua pendapat, pendapat pertama mengatakan bahwa jenis pernikahan seperti ini  hukumnya sah-sah saja dengan dasar kata “majelis” dimaknai dengan “satu waktu”, dalam arti, yang terpenting akad nikah masih dalam satu waktu tanpa harus terikat dengan suatu tempat .Sementara pendapat yang kedua mengatakan bahwa jenis pernikahan seperti ini  hukumnya tidak sah dengan dasar kata “majlis” dimaknai dengan “suatu tempat”. Dalam arti, akad harus dilakukan dalam satu tempat di mana kedua belah pihak bisa saling bertemu secara langsung.
Dalam kata majelis ada beberapa perbedaan pendapat:
a)       Menurut Jumhur Ulama satu majlis difahamkan dengan berkumpulnya para pihak dalam satu tempat secara fisik.
b)        Menurut Hanafiyyah dan sebagian kecil Syafi’iyyah memahamkan satu majlis adalah ijab qabulnya secara kontekstual bukan fisik nyata para pihak. Selian itu antara ijab qabul harus kontinyu dan tidak ada penghalang. Hal ini tanpa memandang secara fisik para pihak hadir dalam majlis atau tidak, sebab menurut pendapat ini akad nikah (ijab atau qabul) melalui surat diperbolehkan.[15]
c)       Selain ijab qabul, kesaksian dari dua orang saksi juga merupakan syarat dari pernikahan, kecuali pendapat Imam Malik. Adanya saksi harus benar-benar melihat dan mendengar langsung para pihak melakukan ijab kabul. Pernikahan tidak sah apa bila saksi hanya mendengar suara tanpa rupa dari para pihak, sebab kesaksian saksi yang demikian tidak dapat menimbulkan keyakinan dalam dirinya. Namun menurut Hanafiyyah dan Ibnu Hajar dari Ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika para saksi meyakini bahwa suara (audio) atau gambar (visual) yang ia dengar dan lihat memang benar-benar dari para pihak, maka kesaksiannya dapat dibenarkan dan pernikahannya sah.[16]

Demikian pula pendapat dari KM Syuyuti Gaffar salah satu dosen dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) yang mengatakan bahwa menikah via internet sah-sah saja karna adanya transaksi dari kedua bela pihak[17], sama hal nya dengan jual beli online yang menggunaka transaksi. Tapi menikah via internet sah saja jika terpenuhi rukun nikah diantaranta adanaya dua mempelai dan adanya saksi.

          































BAB III
KESIMPULAN


A.                  Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan, antara lain:
1.                   Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk Nya. Nikah adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
2.                   Rukun nikah yaitu: adanya mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua orang saksi, sighat (ijab qabul), dan mahar.
3.                   Pernikahan via alatkomunikasi
Jumhur Ulama berpendapat pelaksanaan akad nikah terutama yang berhubungan dengan ijab qabul harus dilakukan dalam satu tempat (satu majlis). Pengertian satu majlis terjadi perbedaan pendapat:
Ø  Menurut Jumhur Ulama satu majlis difahamkan dengan berkumpulnya para pihak dalam satu tempat secara fisik.
Ø  Menurut Hanafiyyah dan sebagian kecil Syafi’iyyah memahamkan satu majlis adalah ijab qabulnya secara kontekstual bukan fisik nyata para pihak. Selian itu antara ijab qabul harus kontinyu dan tidak ada penghalang.
Ø   Selain ijab qabul, kesaksian dari dua orang saksi juga merupakan syarat dari pernikahan, kecuali pendapat Imam Malik. Adanya saksi harus benar-benar melihat dan mendengar langsung para pihak melakukan ijab kabul. Namun menurut Hanafiyyah dan Ibnu Hajar dari Ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika para saksi meyakini bahwa suara (audio) atau gambar (visual) yang ia dengar dan lihat memang benar-benar dari para pihak, maka kesaksiannya dapat dibenarkan dan pernikahannya sah.

B.                  Saran

Dari makalah ini kami berharap, mudah-mudahan Allah akan melimpahkan karunia-Nya kepada umat Islam, sehingga manusia didunia ini, terutama umat muslim selalu berpedoman pada Al-Qur’an, hadits, dan ijma’ ulama dalam menjalani hukum pernikahan khususnya “rukun dan syarat sahnya nikah”.



DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam). Bandung : Sinar Baru Algensindo
Tihami dan Sohari Sahrani. 2010. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta : Rajagrafindo Persada
Al-Buqha, Mustafa. et. al. Fikih Manhaji Kitab Fikih Lengkap Imam Syafi’i Jilid 1. Yogyakarta : Darul Uswah
Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’i Jilid 2. Jakarta : PT. Al-Mahira
Departemen Agama Republik Indonesia. 2011. Al-Qur’an danTerjemahnya. Bandung: Diponegoro
Muhammad Amin Summa. 2005. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http://id.wikipedia.org/wiki/perkawinan., diaksesdiakses kamis 20 februari 2016 pukul 02- …
Muttafaq „alaih. HR. BukhariJuz5 : 4779 dan Muslim Juz 2 : 1400
http://juraganmakalah.blogspot.co.id/2014/04/nikah-lewat-telepon.html  diakses kamis 20 februari 2016 pukul 02- …
http://munakaha.blogspot.co.id/









[1] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 9.

[2] Tihami dan Sohari sahrani, Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 8.

[3] Muttafaq „alaih. HR. Bukhari Juz 5 : 4779 dan Muslim Juz 2 : 1400
[4] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2012), 374-375.
[5] HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 2709 )

[6] Sulaiman Rasjid, Op. Cit.,hlm, 383.
[7] HR. Ibnu Hibban [No. 1247]
[8] Musthafa al-bugha et. al, Fikih Manhaji Kitab Fikih Lengkap Imam Syafi’i jilid 1 (Yogyakarta : Darul Uswah, 2012), 659.
[9] Tihami, Op. Cit.,hlm. 12
[10] Musthafa al-bugha et. al, Fikih Manhaji Kitab Fikih Lengkap Imam Syafi’i jilid 1 (Yogyakarta : Darul Uswah, 2012), 659.
[11] Tihami, Op. Cit.,hlm. 12.
[12] Musthafa al-bugha et. al, Fikih Manhaji Kitab Fikih Lengkap Imam Syafi’i jilid 1 (Yogyakarta : Darul Uswah, 2012), 644-645.
[13] Sulaiman Rasjid, Op. Cit., hlm382
[14] http://juraganmakalah.blogspot.co.id/2014/04/nikah-lewat-telepon.html

[16] http://munakaha.blogspot.co.id/

[17] Dikutip dalam suatu forum pembelajaran, pada hari ahad tanggal 10 februari 2016.

Post a Comment for "Nikah Via Internet (IT)"