A. Latar
Belakang
Hadis
sebagai elemen utama dalam bangunan syariat Islam selalu saja menjadi daya
tarik bagi siapapun yang ingin mengkaji dan mendiskusikan Islam. Semua wacana
terkait hadis, pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua: Diskursus seputar
otoritas hadis sebagai hujjah dalam syariat Islam, dan kajian atas keotentikan
hadis itu sendiri (shahih atau tidaknya sebuah hadis).
Sejarah hanya mencatat sedikit
sekali polemik yang mengarah pada penolakan terhadap otoritas hadis dalam hukum
dan syariat Islam. Penolakan beberapa orang terhadap otoritas hadis secara
keseluruhan, sama sekali tidak berpengaruh terhadap eksistensi hadis dan
khazanah keilmuan Islam.
Hal ini dikarenakan lemahnya argumentasi
yang digunakan, jika kita tidak mau menyebutnya sebagai sebuah kekonyolan.
Dengan mengurut kronologis sejarah, kita akan dapati adanya klaim penolakan
hadis sebagai hujjah dari beberapa madzhab atau sekte pada abad ke I hingga III
H, dan masa kontemporer sekarang ini. Namun klaim itu beserta argumentasinya
terbantahkan. Umat Islam sepakat untuk menerima hadis dan menjadikannya sebagai
sumber hukum Islam yang wajib dipatuhi.
Penyelamatan terhadap Al-Qur’an
telah lebih dahulu dilakukan yang kemudian disusul dengan pendewanan Hadis
sekitar seratus tahun kemudian. Apabila penafsiran-penafsiran terhadap
Al-Qura’an hanya didasarkan pada rasio semata sudah barang tentu akan
melahirkan tafsiran-tafsiran yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Sebagai sumber hukum yang kedua,
Hadis lebih banyak berfungsi untuk menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an, disamping dapat juga menetapkan hukum-hukum tertentu yang tidak
dibahas oleh Al-Qur’an. Usaha untuk menafsirkan Al-Qur’an itu sudah berlangsung
sejak masa Nabi Muhammad SAW, Sahabat, Tabi’in dan terus menerus secara
berkesinambungan sampai sekarang. Oleh karena itu dalam pembahasan makalah ini
akan membahas tentang pengertian dan urgensi Takhrij Hadis.
B. Rumusan
Masalah
Dari uraian singkat latar belakang diatas, dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Apa
Pengertian Takhrij Hadis ?
2.
Apa
Urgensi Takhrij Hadis ?
C. Tujuan
Penulisan
Dari
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui pengertian Takhrij Hadis
2.
Untuk
mengatahui Urgensi Takhrij Hadis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kata Takhrij secara
bahasa berasal dari kata
خرج - يخرج - خروجا yang berarti
keluar, tampak, atau jelas. Takhrij
dapat juga diartikan sebagai
kumpulan dua hal
yang kontradiktif dalam satu hal,
Takhrij juga dimaknai dengan
mengeluarkan, meneliti, dan
mengarahkan. Kata Takhrij merupakan
bentuk masdar dari fi’il
madhi خرج.
Menurut
Mahmud al-Tahhan, yang merupakan ahli metodologi takhrij hadis, selain artinya
melatih / membiasakan, dan
memperhadapkan berarti juga berkumpulnya dua
perkara yang berlawanan
pada sesuatu yang satu.
Juga dimaknai dengan
tempat keluarnya. Jadi jika
tarik pesannya bahwa pengertian Takhrij memiliki arti:
1.
AL-ISTINBATH
yang sama dengan
akar kata takhrij
yaitu mengeluarkan
2.
AL-TADRIB yang
artinya membiasakan / melatih
3.
AL-TAUJIH yang artinya menghadapkan.
Takhrij secara
terminologis menurut
Mahmud al-Tahhan (dalam
Abdul Haris) mengartikan bahwa
takhrij berarti menunjukkan tempat hadits pada sumber- sumbernya yang asli di
mana hadits dikeluarkan dengan rangkaian periwayatannya (sanad), kemudian menjelaskan
tingkat kualitasnya jika diperlukan.
Menurut Mahmud al-Thahhan: Takhrij adalah (usaha)
menunjukkan letak asal hadist pada sumber sumbernya yang asli yang didalamnya
telah dicantumkan sanad hadist tersebut (secara lengkap), serta menjelaskan
kualitas hadist tersebut jika kolekter memandang perlu.[1]
Menurut Nawir Yuslem: Hakekat Takhrij adalah
penelusuran atau pencaraian hadist pada berbagai kitab hadist sebagai sumbernya
yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanad Hadist.[2]
Menurut M. Syuhudi Isma’il: Takhrij Alhadist adalah
penelusuran atau pencaraian Hadist pada berbagai kitab sumber asli dari hadist
yang bersangkutan, yang didalam seumber itu dikemukakan secara lengkap matan
dan sanad hadist yang bersangkutan.[3]
Dari defenisi-defenisi diatas dapat disimpulkan
bahwa Takhrij hadist adalah usaha menemukan matan dan sanad hadist secara
lengkap dari sumber-sumbernya yang asli yang dari situ akan bisa diketahui
kualitas suatu hadist baik secara lansung karena sudah disebutkan oleh
kolektornya maupun melalui penelitian selanjutnya.
B. Urgensi
Takhrij
Sebagai
sumber ajaran Agama setelah al-Quran, hadis memiliki kedudukan yang sangat
penting dalam Islam. Namun tidak seperti al-Qurân yang mendapat penjagaan
langsung dari Tuhan (QS. Al-Hijr ayat 9), hadismemang menghadapi dilema seputar
keotentikannya. Pasalnya, fakta sejarah membuktikan bahwa semenjak era pertama
Islam, sudah banyak didapati hadis-hadispalsu.
Para ulama klasik bahkan sejak
zaman sebelum pengkodifikasian hadissecara massal, telah melakukan penyeleksian
hadisdengan intensif. Mereka berupaya merumuskan konsep yang dapat dijadikan
pedoman dalam menyeleksi hadis. Dengan rumusan itu yang kemudian kita kenal
sebagai ’Ulumul Hadis (ilmu-ilmu hadis) para pengaji hadisdapat menentukan
hadisyang benar-benar otentik dari Rasulullah dan hadisyang validasi
asosiasinya lemah (dha’if) atau yang tidak valid sama sekali (mawdhu’).
Kajian
Sanad dan Matan Hadis
Saat seseorang mengatakan ”hadis”, maka yang
terlintas dalam benak adalah gabungan antara sanad dan matan. Dalam beberapa
literatur hadis kita dapati ungkapan hadis yang hanya berupa matan tanpa
sanadnya. Hal ini lumrah dilakukan guna menyingkat dan mempermudah penyampaian
hadis, bukan karena adanya anggapan bahwa hadis adalah matan saja tanpa sanad.
Sanad adalah mata rantai atau silsilah keguruan yang
menghubungkan seseorang dengan gurunya hingga sampai kepada Rasulullah (atau
dalam kasus hadis mawqufsisilah itu berhenti pada sahabat, dan pada
hadismaqthu’ silsilah itu terhenti pada tabi’in) yang menjadi pengantar bagi
matan hadis. Sementara matan adalah isi atau kandungan.
Sanad sering dianggap sebagai anugerah agung yang
hanya dimiliki oleh umat Rasulullah dan tidak dimiliki umat agama lain. Dengan
sanad, otentitas kitab suci al-Quran dan hadis dapat dijaga. Di waktu yang sama
kitab suci agama lain ternodai oleh oknum-oknum pimpinan agamanya yang
menyisipkan banyak tambahan, dan mengurangi banyak keterangan dalam kitab suci
mereka. Ketiadaan sanad membuat mustahil penelusuran untuk mengetahui mana
”matan” yang otentik dan mana ”matan” yang palsu dalam kitab suci mereka.
Ibn al-Mubarak menilai sanad sebagai bagian dari
Agama. Tanpa sanad, tiap orang akan berkata-kata semaunya dan kemudian mengklaim
bahwa perkataan itu adalah.
Muhammad bin Sirin, al-Dhahhak bin Muzahim, dan
Malik bin Anas juga menyatakan bahwa hadis adalah bagian dari Agama, dan kita
harus melihat dari siapa Agama ini kita ambil. Meneliti dari mana ”Agama”
diambil, sama dengan meneliti pembawa Agama itu sendiri. Kajian atas pembawa
kabar adalah istilah sederhana dari kajian sanad.
Kajian keshahihan hadis biasanya diawali dengan
kajian atas sanadnya. Ketika kualitas sanadnya sudah ditetapkan, maka penilaian
hadis itu linear (sama) dengan penilaian atas sanadnya itu. Bahkan ada
kecenderungan jika sanad hadis telah ditetapkan shahih, sementara matannya
bermasalah, maka matannya yang akan ditakwilkan. Sangat sedikit adanya hadis
yang sanadnya shahih namun matannya bermasalah.
Sebagai alat ukur penilaian kualitas hadis, para
ulama merumuskan kriteria keshahihan hadis, yaitu ketersambungan sanad, seluruh
perawinya bersifat adil dan dhabth (perawi yang memiliki kedua sifat ini
disebut tsiqah), tidak ada syadz dan ’illah. Kelima kriteria ini diterapkan
pada kajian sanad, dan hanya kriteria keempat dan kelima yang digunakan dalam
kajian matan.
Secara zahir, kajian sanad memang lebih banyak
menyita perhatian orangorang yang meneliti hadis dari pada kajian atas matan.
Hal ini bisa jadi karena kondisi matan yang jumlahnya statis sementara sanad
bersifat dinamis dan cenderung bertambah banyak sejalan dengan banyaknya jumlah
perawi yang diteliti. Semakin panjang jalur periwayatan sebuah hadis, semakin
banyak pula perawi yang dikaji. Ditambah lagi dengan realita banyaknya sebuah
matan yang memiliki sanad lebih dari satu.
Sebenarnya, kajian hadis yang dilakukan, tidak
diprioritaskan pada sanadnya, sebagaimana yang dipersangkakan beberapa
orang.Namun juga dilakukan pada matannya. Hanya saja objek kajian yang lebih
banyak memang ada pada sanad hadis, sehingga timbul kesan bahwa kajian sanad
memang lebih mendominasi dalam kajian hadis.
Kajian atas sanad dan matan sudah ada di masa awal
Islam. Beberapa pakar menyatakan bahwa kajian berupa kritik matan hadismuncul
lebih dahulu dibanding kritik sanadnya. Menurutnya, kajian atas matan sudah
dilakukan pada zaman Rasulullah, sementara kajian sanad baru diberlakukan pasca
peristiwa terbunuhnya khalifah ’Utsman bin ’Affan pada tahun 35 H.
Pada generasi sahabat, kajian atau kritik sanad tidak
diterapkan terkait dengan ’adâlah dan integritas moral, karena mereka sudah
mendapatkan penilaian baik (ta’dîl) dari Allah (QS. Al-Tawbah: 100, dan
al-Fath: 18). Kritik dilakukan pada masa itu terkait akurasi berita atau
riwayat. Karena lupa dan keliru adalah sifat manusiawi yang dapat menimpa
orang-orang terpercaya seperti para sahabat. Untuk menyikapi adanya kemungkinan
kekeliruan dan kealpaan, para sahabat melakukan konfirmasi dan verifikasi atau
yang dalam ilmu hadis disebut mu’âradhah.
Al-Dzahabi menyatakan bahwa Abu Bakar adalah orang
yang pertama kali berhati-hati dalam menerima khabar atau periwayatan hadis.
Al-Hakim malah menjulukinya sebagai orang yang pertama menafikan kedustaan atas
Rasulullah (Azami, 1982, hal. 50).
Predikat ini layak diberikan karena Abu Bakar
melakukan mu’aradhah terhadap informasi dan kabar yang diasosiasikan kepada
Rasulullah. Misalnya saat memutuskan bagian nenek dalam harta pusaka (warisan),
Abu Bakar menanyakan sahabat yang pernah mendengar keputusan Rasulullah terkait
masalah tersebut. Al-Mughirah menyatakan bahwa dirinya pernah mendengar
Rasulullah memberikan bagian seperenam. Abu Bakar tidak semerta-merta menerima
riwayat ini.
Ia menanyakan apakah ada sahabat lain mendengar
riwayat ini. Kemudian Muhammad bin Maslamah menyatakan dirinya mengetahui hal
itu dari Rasulullah. Maka Abu Bakarpun memutuskan perkara warisan ini
berdasarkan riwayat alMugirah yang dikukuhkan oleh Ibn Maslamah (Al-Syaibânî,
n.d., hal. 225).
Kritik sanad yang menitikberatkan pada sisi
moralitas perawi atau ’adâlah baru diberlakukan pasca kemangkatan khalifah
’Utsman, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn Sîrîn (w. 110 H), bahwa pada
awalnya orang tidak mempertanyakan pembawa berita (perawi). Setelah terjadi
”fitnah”, orang-orang mulai menanyakan integritas moral individu orang yang
membawa berita. Seakan muncul bersamaan dengan kajian sanad, kajian matan hadis
juga sudah ada di zaman Rasulullah. Kajian atas matan ini dilakukan bukan untuk
mengkritisi muatan dan kandungan matan tersebut, atau mengkritisi ajaran yang
disampaikan oleh Rasulullah, tetapi untuk memperjelas matan dan untuk
memastikan maksud dari ajaran yang terkandung di dalamnya.
’Umar bin al-Khattab bergantian dengan tetangganya
dalam mengikuti pengajian yang diberikan Rasulullah. Suatu saat tetangganya itu
mengetuk pintu rumahnya dengan keras, dan menyatakan bahwa ada kejadian yang
luar biasa. ’Umar mengira ada ada tentara negeri Ghassan yang menyerang kaum
muslimin. Namun tetangganya menyatakan bahwa ada hal yang lebih besar dari pada
itu, yaitu bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya. Mendengar kabar
ini, segera ’Umar berangkat menghadap Rasulullah untuk mengkonfirmasi kebenaran
berita itu. Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa beliau hanya meng-îlâ (tidak
menggauli istri) selama satu bulan (Bukhari, 1987, hal. 872–873).
Kemudian dengan seiring perjalanan waktu, kajian
atas sanad dan matan hadis semakin berkembang dan matang secara epistemologis.
Hal ini sebagai jawaban atas banyaknya hadis-hadis palsu yang beredar.
Keprihatinan yang mendalam di kalangan ulama terhadap upaya pemalsuan hadis
mendorong mereka membakukan standar keshahihan hadis yang kemudian berlanjut
kepada proses atau tradisi penakhrîjan hadis.
Metode-metode
Takhrij hadist Dalam melakukan Takhrij, ada lima metode[4] yaitu :
1.
Takhrij
melalui lafal yang terdapat dalam matan hadist.
2.
Takhrij
melalui lafal pertama matan hadist.
3.
Takhrij
melalui periwayat pertama (sanad pada tingkat sahabat)
4.
Takhrij
melalui tema-tema hadist.
5.
Takhrij
melalui klasifikasi jenis hadist.
Berikut ini penjelasan dari
masing-masing metode tersebut beserta. Perangkat -perangkat (kitab-kitab) yang
dibutuhkan:
Takhrij melalui lafal yang
terdapat dalam matan Hadist.
Metode ini diterapkan manakala
kita mengetahui suatu matan Hadist baik sebahagian maupun keseluruhan, terletak
diawal, ditengah, diakhir atau dibagian mana saja dari Hadist tersebut.
Untuk kepentingan Takhrij Hadist
dengan metode ini diperiukan kitab kamus Hadist. Kitata kamus Hadist yang agak
lengkap adalah kitab susunan Dr. AJ. Wensinck dan kawan-kawan yang telah
diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi dengan judul
(al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazhi al-Hadist an-Nabawi). Selain itu juga
diperlukan kitab-kitab hadist yang menjadi rujukan kamus hadist tersebut yakni
Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan al-Turmuzi, Sunan
al-Nasa’i, Sunan Ibni Majah, Sunan al-Darimi,Muwaththa’ Imam Malik, dan Musnad
Imam ibn Hambal.Untuk hadist yang termuat diluar kesembilan kitab hadist tersebut,
perlu digunakan kamus lainnya yang merujuk kepada kitab yang bersangkutan.
Takhrij
Melalui Lafal Pertama Matan Hadist
Bila suatu Hadist yang kita
ketahui bisa dipastikan bunyi lafal pertamanya, maka disamping mengunakan
metode pertama, kita juga bisa menelusuri Hadist dengan menggunakan metode
khusus melalui lafal pertama matan Hadist tersebut. Dalam mempergunaklan metode
ini ada tiga macam kitab Hadist yang sangat membantu (i) Kitab-kitab yang
berisi himpunan hadist-hadist yang tersebar luas serta termasyhur ditengah
masyarakat (ii) Kitab-kitab yang menghimpun hadist berdasarkan urutan huruf
mu’jam (hija’iah) (iii) Kitab-kitab Mafatih dan F’aharis yang dikarang para
ulama untuk kitab-kitab induk tertentu.
Takhrij Hadist melalui Perawi
pertama (rawi di tingkat sahabat)
Banyak dijumpai baik dalam
karangan maupun dalam ceramah, suatu Hadist yang dikutip biasanya disebutkan perawi pertama sebelum
matan Hadist kemudian kolektornya setelah matan Hadist atau keduanya diletakkan
setelah matan Hadist. Kalau dijumpai Hadist seperti demikian, maka salah satu
cara menTakhrijnya adalah dengan melalui perawi pertama tersebut.
Takhrij melalui tema-tema Hadist.
Takhrij Hadist dengan metode ini
didasarkan pada pengenalan tema suatu Hadist yang ingin diTakhrij. Dengan
demikian, maka metode ini hanya efektif digunakan oleh orang yang punya
kemampuan dalam mengidentifikasi tema Hadist. Dalam menerapkan metode ini tentu
saja langkah pertama yang dilakukan seorang penTakhrij adalah menetapkan tema
Hadist yang akan diTakhrij. Setelah itu barulah menelusuri hadist tersebut baik
dengan mempergunakan kamus hadist maupun lansung pada kitab-kitab hadist maupun
kitab-kitab lainnya yang menuliskan hadist berdasarkan tema-tema tertentu.
Takhrij
menurut klasifikasi Hadist.
Kalau pada metode-metode
terdahulu kegiatan Takhrij dimulai dari suatu hadist yang telah kita ketahui,
maka metode kelima ini berangakat dari pengetahuan penTakhrij akan
klasifikasi-klasifikasi Hadist. Dari pengetahuan tersebut kemudian pentakkhrij
ingin mendapatikan hadist-hadist berdasarkan klasifikasi tersebut22 Yang
dimaksud klasifikasi hadist adalah pengelompokan Hadist berdasarkan klasifikasi
hadist yang terdapat dalam Ilmu hadist seperti Mutawatir, Shahih Dha’if dan
sebagainya.
Metode Takhrij Hadis Kitab dan literatur yang masuk
dalam kategori sumber asli, disusun dengan sistematika dan metodologi yang
berbeda. Hal ini menyebabkan metodologi yang digunakan untuk mengkaji
hadis-hadisnya juga berbeda. Untuk melakukan proses ”pembacaan” terhadap sebuah
literatur, kita perlu mengetahui metodologi penulisan yang digunakan. Saat akan
melakukan Takhrij hadis, kita perlu mengetahui metode penulisan sumber-sumber
asli, agar dapat ditentukan metode Takhrij mana yang akan kita gunakan. Ada
ulama yang menyusun kitabnya berdasarkan susunan nama perawi.
Ada juga yang berdasarkan bab-bab fiqh atau
tema-tema tertentu. Dengan berdasarkan kategorisasi dan metodologi penulisan,
Mahmud al-Thahhan menyebutkan bahwa setidaknya ada lima cara atau metode yang
digunakan untuk menakhrij hadis: Metode Indeks Nama Sahabatnya Metode ini
digunakan ketika nama perawi sahâbatnya diketahui. Pengguna metode ini harus
meyakini terlebih dahulu sosok sahabat yang meriwayatkan hadis yang akan diTakhrij.
Untuk kemudian melakukan penelusuran hadis pada buku
atau literatur yang metodologi penulisan hadisnya berdasarkan urutan nama-nama
shahabat. Metode ini berlaku pada kitab-kitab musnad, mu’jam dan athraf. Metode
Kata Pertama Dalam Matan Metode ini digunakan ketika kita mengetahui dengan
pasti ungkapan awal dari matan hadis. Setidaknya ada kategori kitab yang dapat
menggunakan metode ini:
Pertama, kitab-kitab mengumpulkan hadis yang
matannya sudah populer di tengah masyarakat luas (musytahirah). Ada banyak
ungkapan yang diklaim sebagai Hadis, yang dihafal dengan baik oleh masyarakat
awam. Hadis-hadis ini ada yang kualitasnya shahih, hasan dan dha’if bahkan
palsu. Ada banyak kitab yang mengumpulkan hadis-hadis semacam ini, misalnya
al-Durar al-Muntatsirah Fî al-Ahâdîts al-Musytahirah karya al-Suyûthî (w. 911
H), al-Maqâsid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah ’Alâ
al-Alsinah karya al-Sakhâwî (w. 902 H), dan Kasyf al-Khafâ wa Muzîl al-Ilbâs
’Ammâ Isytahar Min al-Ahadis ’Alâ Alsinah al-Nâs karya al-’Ajlûnî (w. 1162 H).
Kedua, kitab-kitab yang disusun berdasarkan abjad
huruf pertama matannya, misalnya al-Jâmi’ al-Shaghîr Min Hadîts al-Basyîr
al-Nadzîr karya al-Suyuthi (w. 911 H).
Ketiga, kitab Miftâh dan Fihris, atau kitab yang
disusun berdasarkan indeks matan hadis, seperti Miftâh al-Shahîhayn karya
Muhammad al-Syarîf bin Mustafâ al-Tawqâdî, dan Miftâh al-Tartîb Lî Ahâdîts Târîkh
al-Khatîb karya Ahmad bin Muhammad al-Ghimârî. Jenis ketiga ini tidak dapat
dijadikan sumber asli, karena ia tidak menggunakan sanad yang dimiliki oleh
pengarangnya.
Namun demikian, kitab ini dapat membantu proses
penelusuran lokasi hadis pada sumber yang dirujuk. Metode Indeks Kata Metode
ini digunakan dengan cara mencari kata-kata yang menjadi ”kata kunci” dalam
indeks hadis. Yang dimaksud dengan ”kata kunci” adalah kata yang terdapat dalam
matan hadis dan tidak banyak digunakan dalam ungkapan seharihari.
Metode ini menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras Lî
Alfâzh al-Hadis yang disusun oleh sebuah tim yang beranggotakan pakar
orinetalis. Salah satu dari tim penyusunnya bernama A.J. Wensinck (w. 1939),
seorang guru besar Bahasa Arab di universitas Leiden. Al-Mu’jam al-Mufahras
memuat indeks kata yang terdapat dalam 9 (sembilan) sumber koleksi hadis, yaitu
al-Kutub al-Sittah, Muwatha`, Musnad Ahmad, dan Musnad al-Dârimî. Metode
Tematis Hadis Metode ini digunakan oleh orang yang memiliki cita rasa (dzawq) ilmiah
yang memungkinkannya menentukan tema bagi hadis yang sedang dikaji. Sebagaimana
kita ketahui, hadis memiliki kandungan berupa akidah, akhlaq, prediksi masa
depan yang berdasarkan wahyu (tanabbuât), kisah masa lampau (fakta sejarah),
norma dan pranata sosial, hukum, dan lain sebagainya.
Seseorang yang sering membaca dan memiliki wawasan
luas dalam hadis dan ilmu-ilmu keislaman, akan dapat menentukan tema sebuah
hadis untuk kemudian dia melakukan penelusuran dalam kitab atau literatur yang
diduga memuat hadis itu berserta sanadnya. Semisal hadis yang dikaji memuat
tata cara melaksanakan puasa, maka penelusuran dapat dilakukan pada kitab
sunan. Jika hadis yang dikaji memuat anjuran berbuat baik dan menjauhi
perbuatan buruk, maka penelusuran dapat dilakukan dalam kitab atau literatur
yang khusus mengoleksi hadis tentang targîb wa tarhîb.
Metode Penelusuran Berdasarkan Kondisi Matan atau
Sanad Beberapa kitab atau literatur mengoleksi hadis yang memiliki kekhasan
tersendiri. Kekhasan itu bisa ada dalam sanad maupun matan hadis. Jika hadis
yang dikaji memiliki ciri dan tanda kepalsuan, maka kita dapat melakukan
penelusuran dalam kitab yang khusus mengumpulkan hadis palsu. Atau jika hadis
yang dikaji Pengenalan Atas Takhrij Hadis 159 Riwayah: Jurnal Studi Hadis
Volume 2 Nomor 1 2016 diasosiasikan kepada Allah Ta’ala, atau yang kita kenal
sebagai hadisqudsî, maka kita melakukan penelusuran terhadap kitab atau
literatur yang memuat hadishadis qudsî. Kemudian jika sanad hadisnya terdapat
periwayatan bapak dari anak (riwâyah al-âbâ` ’an al-abnâ`), maka kita melakukan
penelusuran dalam kitab yang khusus mengoleksi hadis-hadis periwayatan bapak
dari anak.
Jika sanad hadisnya ternyata berupa musalsal, maka
kita menelusuri hadisnya dalam kitab yang khusus mengumpulkan hadis musalsal.
Kelima metode ini dapat digunakan secara bersamaan, atau dipilih salah satu
yang paling memudahkan kita dalam melakukan penelusuran hadis. Kita perlu
menentukan dulu matan atau perkiraan matan untuk kemudian memilih metode yang
akan digunakan. Selain lima metode atau cara di atas, masih ada tiga lagi cara
yang bisa digunakan untuk menelusuri letak hadis, yaitu penelusuran digital,
melalui internet, dan bertanya kepada pihak yang diangap bisa memberi tahu
letak hadis. Dengan tingginya tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kita dapat melakukan penelusuran hadis melalui program komputer.
Penggunaan teknologi modern dalam melakukan kajian hadis tentu bukanlah sebuah
aib.
Apalagi mengingat rendahnya kualitas dhabth dan
wawasan hadis yang dimiliki kebanyakan pengaji hadis, penggunaan alat bantu
komputer atau internet akan sangat membantu. Namun kita perlu melakukan cross
check atau konfirmasi ke kitabkitab atau literatur hadis yang ”manual” yang
disebut sebagai ”sumber asli”. Hal ini demi mendapatkan hasil yang faktual dan
valid, dan untuk menghindari adanya kesalahan yang mungkin terjadi saat kita
mengakses program atau internet. Selanjutnya, kita bisa melacak keberadaan hadis
dengan ”googling”. Cukup mengetik redaksi hadis atau sebagiannya saja pada
”tempat penelusuran”, maka akan muncul tulisan atau artikel yang relevan yang
bisa membantu kita melakukan penelusruan hadis secara manual. Seperti cara
sebelumnya, Takhrij hadis melalui cara google harus diverifikasi dengan membaca
literatur aslinya.
Cara terakhir adalah denganbertanya kepada guru dan
pakar hadis secara langsung. Dengan pembacaan yang luas, seorang pakar hadis
bisa menyebutkan literatur yang memuat hadis yang kita cari, atau setidaknya
literatur yang diduga memuat hadis tersebut. Setelah kita mendapatkan jawaban,
hendaknya kita memverifikasi jawaban itu dengan membaca sumber asli hadisnya.
Yang perlu diingat, adalah bahwa kajian hadis adalah bagian dari ibadah. Sehingga
seorang pengaji hadis hendaknya selalu berusaha dekat dengan Allah. Dalam
beberapa literatur kita dapati kisah orang yang menelusuri letak hadis dan
meneliti kualitasnya selalu melakukan shalat sunnah dan berdoa agar diberikan
”ilham”. Ada juga cerita orang yang kesulitan menelusuri letak hadis, lalu ia
memperbanyak shalat sunnah sehingga ia mendapatkan jawaban atau apa yang beluam
diketahuinya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata Takhrij
secara bahasa berasal
dari kata خرج - يخرج - خروجا yang
berarti keluar, tampak, atau
jelas. Takhrij dapat juga diartikan
sebagai kumpulan dua
hal yang kontradiktif dalam satu hal, Takhrij juga dimaknai dengan mengeluarkan, meneliti,
dan mengarahkan. Kata Takhrij
merupakan bentuk masdar
dari fi’il madhi خرج.
Takhrij secara
terminologis menurut
Mahmud al-Tahhan (dalam
Abdul Haris) mengartikan bahwa
takhrij berarti menunjukkan tempat hadits pada sumber- sumbernya yang asli di
mana hadits dikeluarkan dengan rangkaian periwayatannya (sanad), kemudian menjelaskan
tingkat kualitasnya jika diperlukan.
B. Saran
Demikian
makalah ini. Penulis menyadari di dalam penyusunan makalah
ini masih banyak kekurangan baik
pada segi penulisan maupunminimnya buku
referensi. Untuk itu, Penulis
mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan
makalah selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
pembaca. Aamin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Thahhan, M. Ushul
al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Beirut: Dar al-Quran al-Karîm.
Ali, M. M. (n.d.). Al-Amtsilah
al-Tashrifiyah. Surabaya: Maktabah Sâlim bin Sa’d Nabhan.
Azami, M. M. (2000). Hadis
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (2 ed.). Jakarta: Pustaka Firdaus.
Rahman, A. (2011). Arus
UtamaDiskursus Hadis: Kajian Atas Otentisitas dan Otoritasnya Sebagai Sebuah
Hujjah. Al-Burhan, 16(1).
Al-Muhdi, A. (n.d.). Thuruq
Takhrij Hadits Rasulillah. Kairo: Dar al-I’tisam.
[1] Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa dirasatu al-Asanid,
Riyadh, Maktabah al-Ma’arif, hal 10.
[2] Nawir Yuslem, Ulumul Hadist, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, h 1395.
[3] M. Syuhudi Isma’ il, Metodalogi Penelitian Hadist Nabi, Jakarata, Bulan Bintang, 1992, h 143.
[4]
Para ahli berbeda dalam
menuliskan urutan kelima metode tersebut. Al-Thahhan menuliskan dengan urutan
(1) dengan cara mengenal rawi pertama (2) dengan cara mengenal lafal pertama
matan Hadist (3) dengan cara mengenal lafal Hadist yang jarang terpakai (4)
Dengan cara mengidentifikasi tema Hadist dan (5) dengan cara melihat keadaan
matan dan sanad Hadist. Lihat al-Thahhan, hal 35. A1-Mahdi mengurutnya dengan
urutan (1) Takhrij menurut lafal pertama Hadist (2) menurut lafal-lafal yang
terdapat dalam Hadistt (3) menurut perawi terakhir (sahabat) (4) menurut tema
Hadistt dan (5) menurut klasifikasi jenis Hadist. Lihat ‘Abd al-Mahdi, hal 15.
Berbeda dengan kedua ahli diatas yang mengajuakan lima metode, Suhudi Isma’il
hanya mengejukan dua metode dengan urutan (1) Takhrij hadist melalui lafal dan
(2) Takhrij hadist melalui tema Hadist. Lihat Isma’il,h 46.
Post a Comment for "TAHRIJ HADIS (PENGERTIAN DAN URGENSINYA)"